Media Informasi Kemaritiman Cakrawala Edisi 417 Tahun 2013 | Page 43
ribuan pulau dengan infrastruktur dan kebutuhan
lain masyarakatnya terhitung jauh lebih mahal
jika dibandingkan dengan kawasan yang
berbentuk daratan, tapi berapa pun ongkos atau
biayanya mestilah dilakukan. Karena hal tersebut
merupakan kewajiban moral dan konstitusional
negara terhadap warganya. Apalagi bila dikaitkan
dengan sila terakhir Pancasila, yakni “Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Oleh karena itu, kebijakan nasional yang
dianut hendaknya dapat menunjukan adanya
keberpihakan atau affirmative action bagi kawasan
dan masyarakat di pulau-pulau Nusantara. Hal
ini merupakan wujud konsekuensi pengakuan
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah sebuah negara kepulauan yang berciri
Nusantara, suatu negara yang memiliki 13.446
pulau. Tanpa adanya kepedulian yang serius,
keterpencilan masyarakat kepulauan dapat
menyebabkan kemiskinan yang permanen. Data
BPS tahun 2010 menunjukan, dari 10.639 desa
pesisir, terdapat 7.879.458 rumah tangga miskin
(ini berarti 13,55% angka nasional), termasuk
diantaranya 2.132.152 rumah tangga nelayan.
Paradigma, anggaran dan politik.
Tidak adanya keberpihakan terhadap kawasan
dan masyarakat pulau disebabkan oleh tiga
hal, yaitu kekeliruan paradigma, keterbatasan
anggaran, dan taktik politik. Pertama, seringkali
para pimpinan atau pejabat, baik pusat maupun
daerah, eksekutif maupun legislatif, mengetahui
kebutuhan dan kondisi masyarakat pulau hanya
dari wacana, laporan atau pertemuan formal,
bahkan acara seremonial belaka. Hal tersebut
riskan terhadap pemahaman yang bersifat
metafora, bukan realitas. Program dan kegiatan
yang ditetapkan tidak sesuai dengan kebutuhan.
Aktivitas dan pengadaan sarana dan prasarana
hanya terhenti pada formalitas tanpa kontinuitas,
perawatan dan perbaikan.
Kedua,
dalam
kondisi
keterbatasan
anggaran, seringkali kebutuhan dana untuk
menfasilitasi kawasan pulau dianggap kurang
prioritas dan tidak terjangkau. Apalagi bila
dianggap merupakan ranah atau kewajiban dan
kewenangan pemerintah daerah. Pemda yang
minim anggaran tidak mampu menyentuhnya.
Ketiga, strategi dan taktik politik praktis
para pejabat eksekutif maupun legislatif, dari
pusat maupun daerah. Alokasi anggaran
maupun pembangunan seringkali diprioritaskan
pada lokasi dan kegiatan yang secara politis
menguntungkan, yakni yang berpopulasi atau
berjumlah penduduk besar karena dipandang
bisa memberikan suara pemilih yang signifikan,
serta berupa kegiatan yang cepat terlihat hasilnya
(quick yield). Pilihan seperti ini cenderung pada
wilayah “daratan”. Kawasan dan masyarakat
pulau mayoritas berpenduduk dalam jumlah yang
sangat kecil dan terpencil. Program, kegiatan
dan sarana-sarana yang dibutuhkan juga
seringkali bersifat jangka panjang, memerlukan
waktu lama untuk memperoleh outcome-nya.
Kondisi demikian jika dilihat dari sisi strategi dan
taktik politik praktis tentu tidak menguntungkan.
Akibatnya para pejabat tidak memiliki hasrat
untuk memerhatikan, apalagi memprioritaskan
kawasan dan masyarakat pulau kecil, terutama
yang terpencil.
Oleh karena itu, Hari Nusantara hendaknya
memberi peringatan kepada segenap anak
bangsa, terutama para pejabat eksekutif maupun
legislatif, dari pusat maupu daerah, untuk
memahami “Nusantara” tidak hanya dari aspek
poliitik, hukum dan keamanan saja. Akan tetapi
perlu juga dipahami dari aspek sosial dan ekonomi,
yang tidak kalah penting untuk diprioritaskan. Dari
pemantauan langsung penulis di beberapa pulau
kecil, permasalahan utama yang dirasakan oleh
penduduk adalah kurangnya fasilitas kesehatan,
transportasi, logistik, energi dan pendidikan.
Oleh karena itu, dalam rangka melaksanakan
kewajiban konstitusional dan moral bagi warga
negaranya, Indonesia sebagai sebuah negara
kepulauan yang unik harus melakukan extra
ordinary effort bagi warganya yang bermukim
di lokasi terpencil dengan berbagai kesulitan
dan kemahalan hidup yang melilitnya. Kalau
tidak, NKRI akan tetap menjadi sebuah negara
kepulauan yang melupakan nusantara. ©dicuplik
dari buku Berani Korupsi itu Memalukan
karangan Soen’an Hadi Poernomo
Cakrawala Edisi 417 Tahun 2013
43