Media BPP Februari 2016 Vol 15 No 1 | Page 23

Berbagai upaya telah ditempuh oleh pengungsi masyarakat Salampesy Belakang dengan membentuk rekonsiliasi pemulangan pengungsi Desa Pelauw. Beberapa kali mereka melakukan audiensi dengan Kementerian Sosial, Kementerian Polhukam, Menko PMK, Kemendagri, namun masih belum menemukan titik terang. dunia dan harus menyerahkan tahta kekuasaan kepada anaknya Efendy Latuconsinha yang sekaligus didaulat menjadi Kepala Desa Pelauw.
Oleh: Alexander Yanuard Dalla Peneliti BPP Kemendagri

Kisah 1 Muharam di Desa Pelauw

Konflik sosial antara dua kelompok masyarakat di Desa Pelauw Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku telah berlangsung selama lebih dari 30 tahun. Konflik tersebut adalah konflik antara dua kelompok penganut hisab( penentuan 1 Muharam untuk merayakan hari besar Islam) yang berbeda, kedua kelompok tersebut memiliki perbedaan pada tanggal penentuan hisab di mana hisab pertama sebagai kelompok muka( Salampesy Muka) menentukan 1 Muharam jatuh lebih awal dari kelompok belakang( Salampesy Belakang) yang penentuan hisabnya bisa memakan waktu tiga sampai empat hari kemudian.

Konflik ini telah
berlangsung sejak 1981 akibat dari perbedaan sudut pandang dalam menetapkan tahun baru Islam. Kelompok masyarakat Salampesy Belakang menghendaki penentuan harus berdasarkan tradisi leluhur yang mereka anut. Menurut mereka proses penentuan harus melalui tiga suku adat masyarakat yang dipertemukan dalam satu rumah adat dan masing-masing suku mewakilkan utusannya, melalui proses yang sakral, 1 Muharam diumumkan langsung kepada masyarakat secara langsung setelah perundingan secara tertutup selesai.
Sementara menurut kelompok masyarakat Salampesy Muka, penentuan tahun baru Islam itu hendaknya disesuaikan dengan aturan pemerintah yakni berpedoman pada keputusan yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia.
Konflik bermula pada masa transisi pemerintahan desa yang dipimpin Raja Abd. Basir Latuconsina meninggal

Berbagai upaya telah ditempuh oleh pengungsi masyarakat Salampesy Belakang dengan membentuk rekonsiliasi pemulangan pengungsi Desa Pelauw. Beberapa kali mereka melakukan audiensi dengan Kementerian Sosial, Kementerian Polhukam, Menko PMK, Kemendagri, namun masih belum menemukan titik terang. dunia dan harus menyerahkan tahta kekuasaan kepada anaknya Efendy Latuconsinha yang sekaligus didaulat menjadi Kepala Desa Pelauw.

Kebijakan penentuan hisab sebagai tradisi yang terus dipertahankan secara turun temurun akhirnya harus berubah dan sangat bertolak belakang dengan kebijakan ayahnya. Ia mengubah pola pandang masyarakat tentang Penetapan 1 Muharram tersebut dengan berpedoman pada aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pro dan kontra masyarakat terhadap keputusan tersebut mengakibatkan masalah semakin meluas dengan dan beberapa intimidasi terhadap masyarakat yang tidak setuju, misalnya, masyarakat yang bekerja di pelabuhan kapal dikeluarkan dari pekerjaannya, bahkan guru sekolah yang tidak setuju pun diberhentikan dari pekerjaannya.
Puncaknya, pada 2012, berawal saat Kepala Desa Pelauw berinisiatif memperbaiki rumah adat, ia mendapat protes dari kelompok masyarakat Salampesy Belakang pada saat penentuan tanggal peresmiannya. Konflik membesar hingga menyebabkan 6 orang meninggal, 8 orang luka-luka dan 307 rumah terbakar akibatnya sekitar 423 kepala keluarga kehilangan tempat tinggal dan kelompok Salampesy Belakang diungsikan ke Desa Rohomoni dan kota Ambon.
Dalam perjalanannya, tepat pada Februari 2016 pengungsi tersebut telah berdiam di Desa Rohomoni selama 4
Februari 2016 | mediaBPP | 23