Media BPP April 2016 Vol 1 No 1 | Page 7

MEMPERTANYAKAN EKSISTENSI BPP

Dalam Pasal 219 UU No 23 Tahun 2014 mengamanatkan pendirian Badan Penelitian dan Pengembangan ( BPP ) sebagai penunjang Pemerintah Daerah . Namun seiring perkembangannya , BPP seringkali dipertanyakan eksistensinya selaku lembaga think tank . Baik itu di daerah maupun yang di pusat .

Pasal 209 UU No 23 Tahun 2014 menjelaskan , perangkat daerah provinsi dan kabupaten terdiri dari Sekretaris Daerah , Sekretaris DPRD , Inspektorat , Dinas , dan Badan . Yang dimaksud Badan pada pasal tersebut kemudian dijelaskan pada Pasal 219 Ayat 1 , salah satunya adalah Badan Penelitian dan Pengembangan ( BPP ). Artinya , pasal tersebut mewajibkan setiap daerah provinsi dan kabupaten untuk mendirikan BPP sebagai pelaksana fungsi penunjang urusan pemerintahan daerah . Dengan demikian , keberadaan BPP merupakan conditional sine qua none by law ( sesuatu yang harus ada berdasarkan undang-undang ). Namun kenyataannya , tidak semua Provinsi , Kabupaten / Kota memiliki BPP .

Nasib BPP Daerah
Dalam catatan Rapat Koordinasi Kelitbangan di Kupang ( 14-16 Maret 2016 ), tidak semua BPP yang ada memiliki kemampuan tinggi dalam rangka melaksanakan tugas-tugas penelitian dan pengembangan . Dari sisi organisasi , belum semua fungsi litbang diwujudkan dalam bentuk BPP Daerah . Bahkan , dari 34 provinsi hanya 21 provinsi yang sudah terbentuk . Sedangkan lainnya masih bergabung dengan Bappeda dan Badan Lingkungan Hidup .
Padahal , sejatinya penguatan BPP Daerah menjadi penting diperjuangkan sehingga segala sesuatu yang terkait dengan kemajuan pembangunan daerah , bisa dilakukan perkiraan sesuai potensi , hambatan , dan kendala yang ada . Seperti halnya BPP Sleman yang masih bergabung dengan Bappeda . Menurut Sri Nurhidayah , Pengelola Bidang Litbang Bappeda Sleman mengatakan , di tempatnya tidak memungkinkan untuk berdiri sebuah BPP mengingat Kota Yogyakarta adalah kota pendidikan .
“ Sudah banyak universitas dan banyak peneliti di Yogyakarta , jadi kebutuhan akan BPP dirasa tidak terlalu penting ,” imbuhnya .
Miskin SDM dan Produk
BPP yang ideal adalah BPP yang memiliki fungsi yang tertera dalam Permendagri No 43 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Dalam Negeri serta Permendagri No 20 Tahun 2011 tentang
Pedoman Penelitian dan Pengembangan di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintahan Daerah , sebagai pelaku penelitian sekaligus pengkaji kebijakan pemerintahan dalam negeri . Tetapi faktanya , keberadaan BPP Daerah saat ini jauh dari idealisme peraturan tersebut . Banyak masalah yang kemudian muncul pada sebagian BPP di daerah . Seperti kelengkapan SDM ( sumber daya manusia ) dan infrastruktur penunjang penelitian pun masih jauh dari harapan . Perekrutan tenaga peneliti pun mendapat tantangan besar , minimnya peminat menjadi tembok penghalang kemajuan BPP .
Sementara BPP dituntut untuk menghasilkan produk penelitian sebagai salah satu asumsi penilaian BPP daerah selama ini . Menurut Rosmawaty Sidauruk , anggota Komisi II dalam Rakornas Kelitbangan 2016 mengatakan , bahkan ada BPP Daerah yang tidak memunyai peneliti .
“ BPP Daerah , ada yang hanya memunyai 1 sampai 5 peneliti , bahkan ada yang tidak punya peneliti . Cara mereka melakukan penelitian biasanya bekerja sama dengan pihak ke-3 , seperti universitas atau LSM ,” jelasnya .
Namun , tidak semua BPP Daerah miskin SDM . Keterbatasan SDM sejatinya bukanlah alasan untuk tidak berkembang , hal ini bisa dibandingkan dengan BPP Kalimantan Timur yang memunyai 22 peneliti . Bahkan
Endro
Utomo ,
Plt .
Kabid
Endro Utomo Plt . Kabid Pemasyarakatan BPP Kaltim
Pemasyarakatan setempat mengklaim BPP Kaltim memiliki paling banyak peneliti dari seluruh BPP Daerah di Indonesia .
VOLUME 1 NO . 1 | APRIL 2016 5