pas di telinga . Supir angkot melaju dengan kecepatan tinggi , tikungan tajam
Salah satu koleksi dia terabas persis
Museum Negeri Kupang seperti pembalap F1 Rio Haryanto . S e l u r u h penumpang dibuat gelenggeleng kepala atas perilakunya . Pantas saja , di dalam angkot ada besi untuk berpegangan semacam pegangan untuk penumpang bus yang berdiri di Trans Jakarta . Mual , pusing sudah barang tentu . Beruntung perjalanan ke museum dengan angkot itu hanya berlangsung cepat . Kami tiba di sebuah gedung bercat biru bertulis “ Museum ”
Penampakan depan sepi , seperti gedung tidak berpenghuni namun ada beberapa kendaraan seperti mobil dan motor terparkir , kami mencoba mencari pintu masuk . Di dalam kami disambut dengan gadis manis berkemeja putih dan celana panjang hitam . “ Silakan masuk ,” sapanya .
Kami diperkenalkan dengan penjaga museum senior bernama Agus Rukmana , pria asal Bandung yang sudah 27 tahun menetap di Kupang . “ Di museum sini sangat sepi , bahkan saat liburan pun sepi . Minat warga di sini sangat kurang ,” kata pria berkacamata itu .
Menelusuri barisan etalase koleksi Museum Negeri Kupang hanya kami bertiga saja pengunjungnya , kami dikenalkan beragam khas NTT . Pertama soal tradisi meminang di Kupang . Pak Agus bilang , gadis NTT di sini mahal . Untuk meminang gadis di sini , keluarga mempelai pria harus membawakan gading gajah dan moko Makassar . Sama seperti adat di Makassar , moko yang terbuat dari perunggu itu sebagai simbol dari kelas sosial masyarakat . Semakin banyak moko atau gading gajah yang dibawa , semakin tinggi derajat kekayaannya . “ Mungkin karena ada semacam istilah barter dan pertukaran budaya , adat Makassar dengan kami ,” kata Agus .
Untuk mendapatkan gading gajah dan moko butuh uang yang tidak sedikit , satu gading gajah bisa Rp . 7 juta . Belum lagi moko yang bisa mencapai belasan juta . “ Biasanya pihak mempelai laki-laki membawa 5 moko yang terbuat dari gading ,” urainya .
Karena saking mahalnya mahar , kebanyakan pasangan kawin lari dari NTT . Mereka hanya mengadakan pesta nikah adat saja lalu pulang-pulang sudah membawa anak . “ Kalau orang yang tidak mampu , mereka kawin lari dan kembali setelah punya anak ,” cerita pria berkumis itu .
Memasuki ruangan lain , kami menemukan tiga buah guci Tionghoa , satu guci tertutup rapat dan berukuran sebesar pot bunga . “ Di dalam guci itu ada tengkoraknya ,” ungkap Agus . Sontak bulu kuduk kami sedikit tegang . Apa benar ada tengkoraknya ? Ternyata guci tersebut peninggalan adat Tionghoa untuk mengubur mayat menggunakan guci . “ Waktu pembangunan jalan di sini , warga menemukan guci dari bekas kuburan Tionghoa . Kalau ditanya takut atau tidak , kami di sini tentu takut , di dalamnya masih bersemayam tengkorak kepala manusia . Apalagi kalau waktu sudah malam , jangan ditanya ,” ceritanya .
Penasaran benar atau tidaknya , saya meminta pak Agus untuk membukanya , namun sayang kami tidak diperbolehkan . Lalu kami dibawa ke ruangan budaya orang Flores . Katanya , setiap 6 bulan dalam setahun ( Juni-Desember ), orang Flores memunyai kebiasaan berburu ikan Paus . Ada lebih dari 18 jenis ikan paus di Kepulaun NTT menjadi santapan warga . “ Kalau lagi panen , sehari kami bisa berburu 4-5 ikan paus dengan berat 32 ton ,” terangnya .
Mulai dari anak kecil , remaja , dan orang tua berbondongbondong mencicipi daging ikan pemangsa itu . Pada pagi dini hari mereka bersiap ke laut membawa dua kapal dengan jumlah kru 20 awak kapal . Hanya berbekal tombak dan jaring mereka berburu ikan yang bisa menelan seluruh awak kapal tersebut . “ Tidak jarang ada yang mati juga , tapi kita punya trik ,” selorohnya .
Biasanya , mereka mengincar bagian kepala ikan paus yang diikat ujungnya dengan tali . Bagi nelayan yang tidak kuat memegang ikatan tombak , maka akan tertarik ke bawah berenang bersama paus yang sekarat itu . “ Kedalaman lautnya tidak ada yang tahu , makanya tidak jarang ada juga yang mati ,” katanya .
Mereka mengandalkan kerja sama dan kepercayaan , setelah paus telah klenger dengan serangan tombak di kepalanya , paus mati . Mereka menggeret dengan jaring ke permukaan pantai . Para ibu siap menukarkan sayur mayur belanjaan pasar dengan seonggok daging . “ Kami biasa memasak dengan kuah asin , kalau di Jakarta harga semangkuk kecilnya Rp 500ribu ,” imbuhnya .
Sayang sekali , saat ini bulan Maret . Kami tidak sempat menyaksikan langsung serunya berburu ikan paus bersama warga lokal . “ Tapi kami punya aturan , kami tidak boleh memangsa ikan betina yang sedang hamil ,” jelasnya .
Begitu kaya lautan Nusa Tenggara Timur itu , bahkan sejak dahulu warga sudah menerapkan budaya itu bertahun-tahun lamanya tak mengurangkan jumlah ikan paus di sana . Namun sayang , jarum jam sudah menunjukan pukul 11.00 siang , pesawat yang kami tumpangi akan berangkat ke Jakarta pukul 13.40 , kami harus segera bergegas kembali ke hotel dan bandara . Perjalanan negeri 1001 pulau yang singkat ini memberikan banyak pengetahuan kita akan budaya NTT yang unik , indah , dan kekayaannya yang luar biasa . Semoga sepenggal cerita perjalanan ini , mengingatkan kita akan kekayaan Indonesia yang tiada tara dan menjaga kelestarian Indonesia . ( IFR )
Kupang , 16 Maret 2016
VOLUME 1 NO . 1 | APRIL 2016 29