Media BPP April 2016 Vol 1 No 1 | Page 30

DAERAH
Sepenggal Kisah

Negeri 1001 Pulau

Semilir angin dan terik panas matahari menyengat seluruh badan , jarum jam kala itu masih menunjukan pukul sembilan pagi . Tapi keringat di kulit sudah mulai bercucuran . Sambil menunggu angkot di depan hotel Aston , Kupang , Nusa Tenggara Timur kami berbincang dengan staf hotel menanyakan destinasi apa yang menarik di pulau yang menjadi salah satu keajaiban dunia itu . “ Nanti kakak naik angkot saja , turun di Pertamina lalu sambung dengan angkot hijau , di sana ada Museum Negeri Kupang ,” katanya .

Sedikit tidak paham apa yang dia maksud dengan Pertamina , berbekal ke sok tahuan kami langsung saja menaiki angkot berwarna putih dengan kernet yang berteriak “ Kupangkupang ”. Dalam hati berkata , “ Iya saya sudah tahu ini di Kupang , mengapa masih teriak jurusan Kupang .”
Masuk ke dalam angkot kami disambut dengan dentum keras speaker di sepanjang kolong angkot . Ukuran angkot di sini memang lebih panjang dari angkot di Jakarta . Kalau di Jakarta bisa memuat sekitar 10 orang , disini bisa muat 12- 15 orang . Berhimpit-himpitan dengan penduduk lokal yang hitam manis , sambil merasakan dentuman lagu rock Inggris
lawas yang samar-samar seperti bahasa planet entah berada . Bising , tentunya menggangu pendengaran kami . Dentuman musik keras tidak hanya terasa di kedua telinga , tetapi sampai ke ulu hati .
Salah satu penumpang yang sadar akan ketidakyamanan kami , meminta supir untuk mengecilkan volume . Di perjalanan angkot , kami sulit melihat pinggir jalan , karena kaca ditutup oleh aneka stiker rock and roll . Ya sudah , kami akhirnya memutuskan untuk berhenti di pemberhentian terakhir karena tidak tahu maksud pertamina dari arahan staf hotel tadi . “ Ya Terminal Kupang , Kupang ,” kata kernet .
Kami tiba di Terminal Kupang yang berada di Kelurahan Lailai Bissikopan dekat terminal , ada pantai dan lipatan meja kursi . “ Mungkin untuk orang berdagang di sore hari ,” gumamku . Kami bertemu dengan Rizky ( 22 ), mahasiswa Akuntansi Universitas PGRI , Kupang . Dia bilang , orang sini menyebut pom bensin itu sebagai Pertamina . “ Oh , pantas saja tidak ada kantor Pertamina yang kami lihat sepanjang jalan ,” kata ku . Rizky memang masih muda , bisa dibilang dia salah satu anak yang beruntung bisa mengenyam pendidikan tinggi di tengah keterbatasan wilayah tersebut . “ Saya mau jadi guru kakak ,” ujarnya .
Kami berbicara seputar beberapa universitas di sini , dan seputar Kupang . Sebagai informan , dia cukup baik menerangkan semua hal yang disebut berbeda antara Kupang dan Jakarta . “ Kalau mau ke museum , kakak naik angkot nomor 10 saja . Di sini angkanya tercantum di atas angkot ,” ucapnya .
Kami mencoba mengamati seluruh bagian angkot dari jarak jauh . Ternyata benar , untuk melihat nomor jurusan angkot , harus ditengok ke bagian atas . Di sana ada semacam plang angka yang berdiri tegak di atas bagian depan . Berbeda dari angkot Jakarta yang menempel stiker angka pada kaca depan .
Sebelum beranjak menaiki angkot , kami mengunjungi beberapa toko kerajinan dan oleh-oleh dekat terminal . Kami bertemu dengan Pak Andreas , salah satu staf toko kerajinan . “ Tiara Art Shop ” begitu plang nama toko itu terpampang . Mata sebelah kanan pak Andreas berwarna putih , tertutup katarak .
Beberapa sebelah mata orangorang tua di tanah dengan 1.192 pulau itu memang kebanyakan putih akibat katarak . Mungkin karena kebanyakan melaut di tengah teriknya matahari negeri timur itu .
Di toko tempat Pak Andreas bekerja , menjual aneka ragam kerajinan terutama batu . “ Ini fosil ikan , pada zaman dahulu Nabi Nuh tinggal di sini lalu dia membuat kapal dan negeri ini tenggelam . Semua ikan mati tertimpa reruntuhan batu . Di sini kita belah batunya dengan cetakan ikan ,” jelasnya .
Tidak hanya ikan , di sana juga ada fosil cumi , dan udang . Harganya cukup fantastis . 100 ribu hingga 5 juta . Yang paling mahal batu besar yang dipercaya ada goresan sisik naga seharga Rp 5 juta . “ Kalau kami jualnya utuh saja , kalau mau dibelah , belah sendiri kami tidak menyediakan alat untuk membelah ,” imbuhnya .
Di sepanjang etalase kami melihat aneka ragam kerajinan , mulai dari kain tenun , batu , fosil-fosil , gantungan , hingga miniatur alat musik khas NTT Sasando . “ Itu harganya 20 ribu saja Bu , tinggal dua , sudah diborong sama orang Bandung ,” katanya .
Selesai membeli minatur Sasando , kami bergegas menaiki angkot 10 berwarna hijau . Sama seperti angkot sebelumnya , full music mengiringi perjalanan kami . Beruntung kali ini musik yang diputar musik pop Indonesia dengan volume sedang dan
28 VOLUME 1 NO . 1 | APRIL 2016