editorial
Daya Saing Bangsa,
APK Pendidikan Tinggi,
dan Kualitas SDM
Triple
Helix
Sidang Pembaca yang budiman
B
ahwa pembangunan bangsa ke depan akan menghadapi tantangan yang tidak ringan, sekaligus peluang
yang semakin terbuka seiring globalisasi yang menuntut kemampuan bersaing sumber daya
manusia/SDM Indonesia.
Namun realitas menunjukkan bagian terbesar penduduk usia kerja kita lulusan Sekolah Dasar (SD) dan
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Dengan kondisi di atas, serta berkembangnya teknologi informasi,
era Industri 4.0 bisa jadi bukan merupakan peluang, namun menjadi penghalang. Sulit kiranya
mengembangkan daya saing bangsa jika tingkat pendidikan penduduk usia kerja tidak ditingkatkan secara
terstruktur dan masif.
Pendidikan kita pahami merupakan kunci perkembangan dan kemajuan suatu bangsa. Pendidikan
secara hakekat mampu mengembangkan SDM bermutu dan memiliki daya saing. Kualitas SDM menjadi
faktor strategis membangun pertumbuhan ekonomi bangsa. Dalam kaitan itu, SDM bermutu tentunya SDM
yang mampu melaksanakan fungsi dan kinerjanya secara inovatif, kreatif, dan produktif dengan semangat kerja
dan disiplin tinggi. Karena itu peningkatan mutu SDM melalui pendidikan sesungguhnya proses peningkatan
kualitas manusia, sekaligus mentransformasikan SDM menjadi angkatan kerja produktif dalam menjawab
tantangan perubahan.
Mutu SDM sebagaimana dimaksud tentunya akan berkontribusi bagi peningkatan daya saing bangsa
yang diharapkan berimbas pada pertumbuhan ekonomi bangsa. Namun realitanya pendidikan, khususnya
pendidikan tinggi masih terbelenggu masalah, dan belum mampu meningkatkan daya saing bangsa. Paling tidak
ada dua permasalahan, yakni : bagaimana PT berkontribusi meningkatkan Angka Partisipasi Kasar/APK
pendidikan tinggi, sekaligus mengembangkan kualitas lulusannya.
APK pendidikan tinggi merupakan persentase jumlah penduduk yang sedang kuliah di perguruan tinggi
terhadap jumlah penduduk usia kuliah (19 - 23 tahun). APK pendidikan tinggi Indonesia baru sekitar 31%,
sementara Malaysia telah mencapai 38%, bahkan Singapura 78%. Cina di tahun 2016 dengan jumlah
penduduk 1,4 miliar memiliki 37 juta mahasiswa yang tersebar di 2.880 perguruan tingginya, sejumlah
667.100 diantaranya mahasiswa pascasarjana.
Salah satu penyebab APK pendidikan tinggi sangat rendah adalah tidak meratanya kualitas pendidikan
tinggi, serta sebaran perguruan tinggi. Tidak meratanya kualitas pendidikan tinggi terlihat pada data akreditasi
perguruan tinggi. Total perguruan tinggi saat ini mencapai 4.663 yang menyelenggarakan 28.278 program studi
(Data PD Dikti 13 Februari 2019). Dari 4.663 lembaga perguruan tinggi, hanya 50 PT dengan akreditasi A dan
mereka terkonsentrasi di pulau Jawa. Sedang sisanya 4.613 yang tersebar di seluruh negeri dengan akreditasi B
dan C. Disparitas ini harus kita jawab selaku pemangku kepentingan, salah satunya PT.
APK pendidikan tinggi menunjukkan kualitas layanan negara terhadap hak masyarakat memperoleh
akses pendidikan tinggi. Besaran APK pendidikan tinggi juga menunjukkan bahwa masyarakat memperoleh
kemudahan dalam akses menempuh pendidikan tinggi. Persentase APK juga sebagai penentu tingkat kualitas
layanan pembelajaran dan kemahasiswaan perguruan tinggi. Sebagaimana negara-negara maju, kemajuan
pendidikan tingginya dikaitkan dengan seberapa besar APK pendidikan tinggi di negara tersebut. Disinilah
peran negara berkewajiban meningkatkan APK pendidikan tinggi.
Kedua, rendahnya kualitas SDM menyebabkan rendahnya daya saing global bangsa. Kualitas SDM dan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang masih rendah menjadi persoalan serius menghadapi
globalisasi, Era Industri 4.0. Laporan McKinsey menjelaskan Indonesia kekurangan tenaga kerja menghadapi
Era Industri 4.0 sebanyak 9 juta orang pada tahun 2015 – 2030, yakni tenaga kerja yang kompeten dalam
industri digital. Artinya kita membutuhkan 600.000 tenaga kerja setiap setahun. Namun ketersediaan tenaga
kerja di atas terbatas, selain kuantitas, kualitas kompetensinya pun menjadi masalah, padahal transformasi digital
bergerak cepat.
Peluang tersebut sangat kontradiktif melihat tingkat pengangguran lulusan PT mencapai 8,8 % dari total 7
jutapengangguran di Indonesia. Yakni setara dengan 620.000 lulusan PT tidak terserap dunia kerja/dunia
usaha dan industri. Mereka adalah generasi muda berpendidikan, pada usia 19 – 24tahun yang seharusnya dapat
memberikan kinerja produktif. Ini menunjukkan kualitas pendidikan tinggi dalam melaksanakan proses
Ilustrasi: @nandaniekam
pendidikan tidak memikirkan relevansi
dengan dunia usaha dan industri.
Sekaligus menggambarkan PT belum
mampu mengantisipasi dinamika
perubahan. Relevansi lulusan perguruan
tinggi terhadap kebutuhan tenaga kerja
menjadi faktor penting dalam upaya
m e n c e g a h s a r j a n a m e n g a n g g u r.
Keahlian para sarjana harus sesuai
dengan kebutuhan dunia usaha dan
industri. Perguruan tinggi sebagai
lembaga pencetak sumber daya manusia
yang unggul seharusnya tenaga kerja
menghadapi Era Industri 4.0 sebanyak 9
juta orang pada tahun 2015 – 2030,
yakni tenaga kerja yang kompeten dalam
industri digital. Artinya kita
membutuhkan 600.000 tenaga kerja
setiap setahun. Namun ketersediaan
tenaga kerja di atas terbatas, selain
kuantitas, kualitas kompetensinya pun
menjadi masalah, padahal transformasi
digital bergerak cepat.
Pe l u a n g t e r s e b u t s a n g a t
kontradiktif melihat tingkat
pengangguran lulusan PT mencapai 8,8
% dari total 7 juta pengangguran di
Indonesia. Yakni setara dengan 620.000
lulusan PT tidak terserap dunia
kerja/dunia usaha dan industri. Mereka
adalah generasi muda berpendidikan,
pada usia 19 – 24 tahun yang seharusnya
dapat memberikan kinerja produktif. Ini
menunjukkan kualitas pendidikan
tinggi dalam melaksanakan proses
pendidikan tidak memikirkan relevansi
dengan dunia usaha dan industri.
Sekaligus menggambarkan PT belum
mampu mengantisipasi dinamika
perubahan. Relevansi lulusan perguruan
tinggi terhadap kebutuhan tenaga kerja
menjadi faktor penting dalam upaya
m e n c e g a h s a r j a n a m e n g a n g g u r.
Keahlian para sarjana harus sesuai
dengan kebutuhan dunia usaha dan
industri. Perguruan tinggi sebagai
lembaga pencetak sumber daya manusia
komunita 24 | April 2019
3