Majalah Komunita Edisi 24 | Page 23

rubrik utama Memaknai Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi Wawancara Prof. Dr. Dinn Wahyudin - Guru Besar Pengembangan Kurikulum UPI Prof. Dr. Endang Caturwa , S.ST.M.S. – Guru Besar Seni Pertunjukan Indonesia Ins tut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung T antangan Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Tinggi yang belum signi kan (baca : rendah) serta daya saing lulusan memang perlu disikapi secara sinergi oleh para pemangku kepentingan, yakni perguruan tinggi, industri dan pemerintah. Dalam mensikapi Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Tinggi, majalah Komunita menyempatkan berbincang dengan Prof. Dinn - Guru Besar Pengembangan Kurikulum UPI. Ilustrasi : @nandaniekam Dalam perbincangan dengan beliau terungkap bagaimana kita sebaiknya memaknai APK Pendidikan Tinggi tersebut.  Angka Partisipasi Kasar (APK) atau Gross Enrollment Ratio (GER) merupakan kelaziman universal dalam menghitung besarnya jumlah masyarakat yang melanjutkan pendidikan dari suatu jenjang pendidikan tertentu, termasuk APK Pendidikan Tinggi. Dengan demikian APK Pendidikan Tinggi yang diraih dalam suatu negara memiliki arti penting sebagai salahsatu indikator capaian Indeks Pendidikan Tinggi dalam suatu Negara tersebut. Besarnya Angka Partisipasi Kasar suatu jenjang pendidikan menunjukkan kualitas layanan pemerintah terhadap hak masyarakat dalam memperoleh akses pendidikan. Sejalan dengan hal tersebut, besaran Angka Partisipasi Kasar (APK) juga menunjukkan bahwa masyarakat memperoleh kemudahan dalam akses menempuh Pendidikan Tinggi. Dengan demikian, persentase APK dapat digunakan sebagai penentu tingkat kualitas layanan pembelajaran dan kemahasiswaan perguruan tinggi.  Sebagaimana negara-negara maju, maka kemajuan pendidikan tingginya juga dikaitkan dengan seberapa besar APK Pendidikan Tinggi di negera tersebut. Angka Partisipasi Kasar (APK), menunjukkan partisipasi penduduk yang sedang mengenyam pendidikan sesuai dengan jenjang pendidikannya. APK Pendidikan Tinggi Indonesia tahun 2018, menunjukkan angka 33,37 %, Jika dibandingkan dengan target yang ditetapkan pada periode akhir Renstra tahun 2019 yaitu sebesar 32,55%, capaian APK Pendidikan Tinggi pada tahun 2017 juga sudah melebihi target yang ditetapkan yaitu naik sebesar 102,50% (Kemenristekdikti, 2018).  Dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN, APK Pendidikan Tinggi Indonesia memang diakui masih tertinggal, baru mencapai 33%. Hal ini terutama bila dibandingkan dengan Singapura 78%, dan Malayasia 38%. Ada beberapa alasan utama : Pertama, kita akui prioritas pembangunan pendidikan baru pada usaha wajar (wajib belajar) pendidikan dasar 9 tahun menuju pada “wajib belajar” 12 tahun, sehinggga APK dan APM Pendidikan Dasar kita mencapai lebih dari 95%. Secara bertahap perhatian Pemerintah bergeser pada upaya peningkatan Pendidikan Tinggi. Diyakini, perguruan tinggi memiliki peran yang sangat strategis dalam mempersiapkan generasi penerus bangsa, sekaligus sebagai agen perubahan bagi sebuah bangsa. Daya saing SDM dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang masih rendah akan menjadi persoalan serius bangsa dalam menghadapi pasar bebas (MEA). Kedua, kurang meratanya kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. Hal ini antara lain bisa dilihat dari data perguruan tinggi, baik PTN dan PTS yang telah terakreditasi dengan nilai A. Saat ini, tercatat ada 27 PTS dibawah binaan Kemenristekdikti sudah mendapatkan nilai akreditasi A, akan tetapi PTS yang terakreditasi A masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Kesenjangan kualitas ini juga memberi pengaruh pada raihan APK PT yang dicapai. Ketiga, umumnya pendidikan tinggi di Tanah air masih bercirikan akademis. Artinya layanan pendidikan yang diberikan cenderung terbatas pada pendidikan akademik jenjang S1, S2, atau S3. Perguruan tinggi di Tanah air, sangat kurang membuka program profesi dan pendidikan vokasi dari jenjang diploma 1 sampai dengan diploma 4 atau sarjana terapan. Padahal pendidikan profesi dan pendidikan vokasi pun, lulusannya sangat dibutuhkan untuk memenuhi angkatan kerja di berbagai sektor industri dan sektor jasa. komunita 24 | April 2019