rubrik utama
Memaknai Angka
Partisipasi Kasar
Pendidikan Tinggi
Wawancara
Prof. Dr. Dinn Wahyudin - Guru Besar Pengembangan Kurikulum UPI
Prof. Dr. Endang Caturwa , S.ST.M.S. – Guru Besar Seni
Pertunjukan Indonesia Ins tut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung
T
antangan Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Tinggi yang belum signi kan (baca :
rendah) serta daya saing lulusan memang perlu disikapi secara sinergi oleh para pemangku
kepentingan, yakni perguruan tinggi, industri dan pemerintah.
Dalam mensikapi Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan Tinggi, majalah Komunita
menyempatkan berbincang dengan Prof. Dinn - Guru Besar Pengembangan Kurikulum UPI.
Ilustrasi : @nandaniekam
Dalam perbincangan dengan beliau terungkap bagaimana kita sebaiknya
memaknai APK Pendidikan Tinggi tersebut.
Angka Partisipasi Kasar (APK) atau Gross Enrollment Ratio (GER)
merupakan kelaziman universal dalam menghitung besarnya jumlah
masyarakat yang melanjutkan pendidikan dari suatu jenjang pendidikan
tertentu, termasuk APK Pendidikan Tinggi. Dengan demikian APK
Pendidikan Tinggi yang diraih dalam suatu negara memiliki arti penting
sebagai salahsatu indikator capaian Indeks Pendidikan Tinggi dalam suatu
Negara tersebut. Besarnya Angka Partisipasi Kasar suatu jenjang
pendidikan menunjukkan kualitas layanan pemerintah terhadap hak
masyarakat dalam memperoleh akses pendidikan. Sejalan dengan hal
tersebut, besaran Angka Partisipasi Kasar (APK) juga menunjukkan bahwa masyarakat memperoleh kemudahan dalam akses menempuh Pendidikan Tinggi.
Dengan demikian, persentase APK dapat digunakan sebagai penentu tingkat kualitas layanan pembelajaran dan kemahasiswaan perguruan tinggi.
Sebagaimana negara-negara maju, maka kemajuan pendidikan tingginya juga dikaitkan dengan seberapa besar APK Pendidikan Tinggi di negera
tersebut. Angka Partisipasi Kasar (APK), menunjukkan partisipasi penduduk yang sedang mengenyam pendidikan sesuai dengan jenjang pendidikannya.
APK Pendidikan Tinggi Indonesia tahun 2018, menunjukkan angka 33,37 %, Jika dibandingkan dengan target yang ditetapkan pada periode akhir Renstra
tahun 2019 yaitu sebesar 32,55%, capaian APK Pendidikan Tinggi pada tahun 2017 juga sudah melebihi target yang ditetapkan yaitu naik sebesar 102,50%
(Kemenristekdikti, 2018).
Dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN, APK Pendidikan Tinggi Indonesia memang diakui masih tertinggal, baru mencapai 33%. Hal ini
terutama bila dibandingkan dengan Singapura 78%, dan Malayasia 38%. Ada beberapa alasan utama : Pertama, kita akui prioritas pembangunan
pendidikan baru pada usaha wajar (wajib belajar) pendidikan dasar 9 tahun menuju pada “wajib belajar” 12 tahun, sehinggga APK dan APM Pendidikan
Dasar kita mencapai lebih dari 95%. Secara bertahap perhatian Pemerintah bergeser pada upaya peningkatan Pendidikan Tinggi. Diyakini, perguruan tinggi
memiliki peran yang sangat strategis dalam mempersiapkan generasi penerus bangsa, sekaligus sebagai agen perubahan bagi sebuah bangsa. Daya saing SDM
dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang masih rendah akan menjadi persoalan serius bangsa dalam menghadapi pasar bebas (MEA).
Kedua, kurang meratanya kualitas pendidikan tinggi di Indonesia.
Hal ini antara lain bisa dilihat dari data perguruan tinggi, baik PTN dan
PTS yang telah terakreditasi dengan nilai A. Saat ini, tercatat ada 27 PTS
dibawah binaan Kemenristekdikti sudah mendapatkan nilai akreditasi A,
akan tetapi PTS yang terakreditasi A masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Kesenjangan kualitas ini juga memberi pengaruh pada raihan APK PT
yang dicapai. Ketiga, umumnya pendidikan tinggi di Tanah air masih
bercirikan akademis. Artinya layanan pendidikan yang diberikan
cenderung terbatas pada pendidikan akademik jenjang S1, S2, atau S3.
Perguruan tinggi di Tanah air, sangat kurang membuka program profesi dan
pendidikan vokasi dari jenjang diploma 1 sampai dengan diploma 4 atau
sarjana terapan. Padahal pendidikan profesi dan pendidikan vokasi pun,
lulusannya sangat dibutuhkan untuk memenuhi angkatan kerja di berbagai
sektor industri dan sektor jasa.
komunita 24 | April 2019