MAJALAH DIMENSI | Page 63

administrasi untuk mendaki Semeru juga membutuhkan materai. Setahu kami hanya dibutuhkan surat keterangan sehat dan fotokopi KTP. Salah satu dari kami pun pergi ke toko alat tulis yang berada di pasar, mendapatkan materai 3 ribu sebanyak 2 lembar.
Sekitar pukul 10.00 kami berangkat. Perjalanan dari Pasar Tumpang ke Ranu Pane membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam. Sepanjang perjalanan kami disuguhi dengan pemandangan-pemandangan indah mulai dari Gubug Klakah. Desa dengan ladang-ladang sayurannya, titik-titik kecil petani yang bekerja dengan giat, bukit-bukit hijau yang diterpa sinar matahari, ditambah birunya langit. Kami juga melewati pemandangan lautan pasir Bromo yang menawan. Suguhan tersebut rasanya sebanding dengan perjuangan kami terombang-ambing di bak truk karena jalan menuju Ranu Pane yang menanjak dan sangat sulit.
Setiba di Ranu Pane, kami melakukan pendaftaran di pos pendataan. Kami diwajibkan membayar bea masuk kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru sebesar Rp. 2.500 per orang + bea asuransi kecelakaan sebesar Rp. 4.500 per orang serta diwajibkan untuk membuat surat pernyataan bahwa pendakian dilakukan hanya mencapai Pos Kalimati dengan tanda tangan bermaterai Rp. 6.000 per rombongan. Memang pendakian hanya dijamin sampai Pos Kalimati, selebihnya, asuransi tak berlaku. Bila terjadi sesuatu pada pendaki diatas Kalimati, hal tersebut tidak ditanggung lagi. Kami sempat dibuat sewot oleh petugas yang tak mau menerima materai kami. Ia menghendaki materai 6 ribu, sedang yang kami bawa adalah materai 3 ribu sebanyak 2 lembar. Biasanya, hal itu tak dipermasalahkan. Beruntung sekali, kawan seperjalanan kami di truk membawa materai berlebih. Ia memberikan satu untuk kami. Persyaratan administrasi pun beres.
Selesai solat dan makan siang, kami bersiap untuk mendaki. Packing ulang, berganti pakaian, mengenakan sepatu, dan sebagainya. Kira-kira pukul 14.00, dengan mengencangkan tali carrier dan mengucap bismillah, kami berangkat meninggalkan Ranu Pane.
Untuk mencapai pos pertama, yaitu pos Landengan Dowo, kirakira dibutuhkan waktu 45 menit. Trek awal masih cukup mudah karena tak terlalu menanjak. Di Landengan Dowo kami beristirahat sejenak dan bertemu dengan pendaki-pendaki lain yang juga beristirahat. Setelah meminum air dan mencecap gula jawa, kami kembali berjalan.
Pos kedua yaitu pos Watu Rejeng, kurang lebih satu setengah jam dari pos pertama. Perjalanan kami tergolong sangat santai, tak terburu-buru. Hanya saja kami menargetkan untuk tiba di Ranu Kumbolo sebelum petang agar tak kesulitan mendirikan tenda.
Dari Watu Rejeng ke Ranu Kumbolo kami tempuh selama kurang lebih 2 jam. Kami tiba di Ranu Kumbolo pukul setengah 6. Disana telah berdiri banyak sekali tenda dari pendaki lain, mungkin hampir mencapai 100 tenda. Segera saja kami mendirikan tenda sebelum ge- lap. Hawa disana sangat dingin. Kami mendirikan tenda dengan menggigil dan langit hampir gelap.
Ranu Kumbolo merupakan sebuah danau seluas 15 hektar yang terletak di lembah berketinggian 2400 meter diatas permukaan laut. Suhu minimal disana berkisar antara-5 hingga-20 derajat celcius. Tak heran apabila pagi harinya kami menemukan botol plastik yang telah diselimuti kristal es.
Terbangun dan mendapati sunrise Ranu Kumbolo sungguh pengalaman yang menyenangkan sekali. Hawa dingin masih menusuk kulit hingga ke tulang. Namun semua itu terabaikan saat kita melihat ke arah timur. Sinar oranye dengan malu-malunya muncul perlahan diantara dua bukit di ujung timur Ranu Kumbolo. Kehidupan di Ranu Kumbolo pun perlahan mulai menggeliat. Para pendaki lain juga nampak takjub dengan pemandangan tersebut.
Puas menikmati sunrise, kami pun menyiapkan sarapan. Sangat nikmat, sarapan di tepi danau dengan dihangatkan oleh sinar mentari. Seusai sarapan kami membagi tugas, ada yang harus membersihkan peralatan makan dan yang lain berkemas, membereskan tenda dan sebagainya.
Sekitar pukul 8 pagi kami telah siap untuk melanjutkan perjalanan. Setelah mengambil foto bersama di tepi danau kami pun berangkat. Meninggalkan Ranu Kumbolo, kami harus melewati tanjakan cinta untuk mencapai bukit menuju oro-oro ombo.
Mengapa tanjakan cinta? Ya, memang unik namanya. Seorang kawan bercerita menge-
edisi 48 | majalah dimensi

63