MAJALAH DIMENSI | Page 59

Beruntung, kami melihat seorang wanita paruh baya melintas. Ibu itu ternyata seorang pedagang. Sambil memanggul barang, tangan kirinya memegang sebatang rokok yang sesekali dihisapnya. Segera saya menghampirinya untuk bertanya tentang‘ penanggung jawab’ kawasan ini.“ Oh sesepuhnya ya? Rumahnya dekat sini kok,” jawabnya tanpa basa-basi. Saya pun diberi arahan menuju kediaman sang sesepuh.
Kami berhasil menemukan kediamannya setelah sekian ratus meter berjalan. Rumah bernomor 41, RT. 03 / RW. 01, Desa Dieng Kulon, Banjarnegara. Seorang pria lanjut usia berkumis tebal, berjenggot panjang dan berjaket hitam tebal menyambut kami dengan ramah. Perlakuannya tak sama dengan kesan pertama yang kami rasakan saat melihatnya, sangar. Aura kejawen tergambar kental dari sorot mata coklatnya. Sungguh sesuatu kesempatan yang unik kami bisa bertemu untuk bercengkrama dengannya.
Naryono, begitulah nama aslinya. Pria berusia 64 tahun yang lebih memilih disebut pemangku adat daripada juru kunci. Seorang‘ mantan’ anak gimbal ruwatan di era 50-an yang menjadi penanggung jawab tradisi tersebut di masa kini. Memang ialah yang menjadi penanggung jawab utama dua adat besar yang sudah menjadi tradisi tahunan dari zaman nenek moyangnya. Dua adat tersebut tidak lain adalah Adat Sedekah Bumi( adat untuk menunjukkan rasa syukur atas hasil panen) dan Ruwat Anak Gimbal( Lihat: Rubrik Tradisi hal.
56).
Mendengar cerita bahwa tradisi disana hanya dilaksanakan masingmasing sekali setiap tahunnya, mengundang rasa penasaran saya tentang kehidupan kesehariannya. Dalam konteks ini, ternyata ia pun tetap berlaku menjadi sang‘ penanggung jawab’ tempat-tempat sakral di kawasan Dieng Kulon, diantaranya adalah sembilan bangunan candi yang tersebar. Candi-candi yang dimaksud adalah Candi Semar, Candi Arjuna, Candi Sembada, Candi Puntadewa, Candi Srikandi, Candi Dwarawati, Candi Sekati, Candi Gathotkaca dan Candi Bima.
Ia melakoni profesi ini karena mendapat warisan dari pakdenya. Setelah pakde yang ia panggil dengan sebutan Pakde Darmuji meninggal, ialah satu-satunya saudara yang dipercaya menjadi penerus.“ Saya itu orang bodoh, bukan orang pintar, bukan paranormal. Saya cuma orang yang dapet kepercayaan saja”, tutur pria asli Dieng ini sambil lalu. Dari yang ia terangkan pada kami, sudah semenjak tahun 80-an pakdenya mewanti-wanti bahwa ialah yang akan meneruskan.“ Kalo kamu sudah tua, kamu yang menggantikan saya”, kenangnya menirukan kata-kata dari Pakde Darmuji.
Menjadi pengayom dan penjaga tradisi di kawasan ini tentu harus memenuhi beberapa persyaratan untuk mengawalinya. Berpuasa minimal setiap hari Jumat dan Selasa Kliwon misalnya, atau minimal 150 hari puasa dalam satu tahun.“ Yang pasti itu syaratnya satu, prihatin”, tegasnya sebelum menceritakan bahwa ia pernah selama enam tahun tidak makan nasi dan mengganti makanan pokoknya dengan singkong. Selain itu, untuk waktu yang rutin di hari Jumat dan Selasa Kliwon sang pemangku adat melaksanakan ritual
Angsung Bolo Bekti, sarana komunikasi dengan para‘ leluhur’ disana.
Dalam menjalani profesinya, banyak orang sering datang padanya dalam kepentingan spiritual atau semedi. Orangorang ini sering ia sebut tamu. Menurut penuturannya, para tamu yang datang berasal dari berbagai daerah di seluruh nusantara.“ Ya banyak tamu dari daerah-daerah, ini kemarin baru saja ada yang dari Pacitan,” terangnya pada kami dengan bahasanya yang masih kental dengan aksen Jawa.
Sesepuh Dieng Kulon yang akrab dipanggil dengan sebutan Mbah Naryo atau Pak Naryono ini mengakui bahwa sering ada tamu yang meminta ditemani saat melaksanakan kepentingan spiritual. Bahkan ada pula yang meminta dimandikan olehnya di Tuk Bolo Bekti, sebuah sumur berdinding batu dan berkedalaman 4 meter peninggalan abad ke-8. Di tempat ini anak gimbal dimandikan dalam prosesi ruwatannya. Untuk masalah‘ rezeki’ yang sangat mungkin bisa didapat dari para tamunya, Naryono tidak terlalu mempermasalahkan.“ Kalo dikasih ya diterima, kalo ndak juga ndak apa-apa,” ungkapnya bijak.
Selain menerima banyak tamu, Naryono juga sering dipanggil jika ada masyarakat yang berurusan dengan hal-hal gaib. Hal ini diungkapkan oleh tetangganya yang bernama Woto.“ Kalo misalnya ada orang yang mau ritual atau ada masyarakat sini yang mau ngadain syukuran atau urusan yang ada hubungannya dengan gaib-gaib itu dia sering dipanggil mas,” terangnya saat saya temui di kawasan wisata. Dan untuk waktu-waktu tertentu, Naryono seringkali
edisi 48 | majalah dimensi

59