MAJALAH DIMENSI | Page 22

22

R. A. Kartini tak henti dan terus memperjuangkan nasib kaum wanita dengan bermodalkan pendidikan dan wawasan berlandaskan buku-buku mengenai sejarah perjuangan kaum wanita di belahan bumi lain yang secara historis sama dengan masyarakat tradisonal dengan segala macam peraturan adat. Seperti terisolirnya masyarakat Indonesia pada saat itu, namun mereka( kaum wanita dibelahan bumi lain – red) telah jauh melangkah.
Dirinya tahu bahwa jalan yang dilalui itu tak berliku, namun beliau terus berusaha. Seperti tercermin pada suratnya: Saya tahu tentang jalan yang saya tempuh itu, sukar banyak duri dan onaknya dan lubang-lubangnya. Jalan itu berbatu-batu, berlekuk-lekuk, licin, jalan itu belum dirintis. Dan biarpun saya tidak beruntung sampai ke ujung jalan itu, meskipun patah di tengah jalan, saya akan mati dengan merasa bahagia, karena jalannya sudah terbuka dan saya turut membantu mengadakan jalan yang menuju ke tempat perempuan Bumi Putera merdeka dan berdiri sendiri. Sudah senang benarlah hati saya bila ibu bapak gadis lainnya, yang hendak berdiri sendiri pula, tiada dapat lagi mengatakan:“ Belum ada seorang jua pun orang kita yang berbuat demikian”.
Dari isi surat tersebut jelaslah bahwa tekad Kartini bulat walaupun ia sudah tiada dan belum berhasil dalam melaksanakan cita-citanya, tetapi sudah membuka dan merintis jalan ke arah apa yang ia cita-citakan. Yakni membebaskan kaum wanita dari belenggu kejahiliahan akibat pengaruh adat, sehingga bagi seorang wanita untuk menuntut ilmu pengetahuan dianggap tabu atau melanggar adat.
Dilema yang kini muncul adalah mindset kebanyakan orang( khususnya wanita) mempertontonkan atau“ mengomersialisasikan” bagian tubuh yang seharusnya tak mereka perlihatkan kepada khalayak ramai menjadi sesuatu yang lumrah. Hal ini menjadikan gerakan emansipasi yang didominasi budaya barat yang membius sebagian kaum wanita, sehingga tanpa sadar mereka rela tetap ditindas dan digagahi jati dirinya. Budaya barat yang lebih dominan terlihat saat ini ialah proses peniruan atau duplikasi secara besar-besaran, ekploitasi, cenderung instan, dan memproduksi trend secara massal. Menurut pakar psikologi dari salah satu universitas swasta di Jakarta, Sri Kuncorodiyati mengatakan,“ Secara kodrati kaum pria terpesona kepada kemolekan, keindahan tubuh dan seksualitas kaum wanita, sehingga tak mengherankan bahwa budaya barat kemudian mengeksploitasi kaum wanita untuk kepuasan seksualitas kaum pria”.
Bila melihat fakta dilapangan, kita tengah terjebak oleh paradigma budaya barat, dimana banyak dari kita menerima atau menjiplak paradigma budaya barat tersebut. Namun apakah benar bila kita menerima tanpa menyaring paradigma tersebut? R. A. Kartini bahkan menyerang kebudayaan dan peradaban barat. Hal ini tertuang dalam surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 27 Oktober 1902:“ Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri
majalah dimensi | edisi 48 menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban dan kebudayaan?”
“ Komersialisasi” ya stigma itu ialah konotasi aib buah dari budaya kebarat-baratan. Tak jarang kita melihat wanita-wanita muda dengan rok mini dan pakaian“ seksi” yang berpose sedemikian indah sehingga seringkali digunakan untuk menjadikan wanita sebagai objek komersialisasi.
Alih-alih mendapatkan feedback yang positif dari khalayak ramai malah menjadikan krisis moral terhadap budaya bangsa ini. Entah sadar atau tidak sadar wanita yang dengan tanpa malu mengenakan pakaian mini dan berpose sedemikian seksi menjadi objek seksualitas para kaum pria, ikut terbuai dan serta-merta mereka( wanita – red) meninggalkan esensi jati diri sebagai kaum yang memiliki“ keistimewaan” dari Sang Maha Kuasa.
Kebebasan atau emansipasi ini menjadikan alasan kepada beberapa wanita untuk melakukan hal yang semestinya tak mereka lakukan. Sudah seharusnya kita sebagai bangsa yang cerdas mengembalikan lagi budaya bangsa Indonesia dan meninggalkan budaya kebarat-baratan, oleh karena itu kita harus sesuai dalam menyikapi polemik yang terjadi serta menggeser paradigma dan stigma mengenai budaya komersialisasi yang tentunya melenceng dari emansipasi yang seharusnya.