\ BACKPACKER \
menelisik indahnya Pulau Napi
Oleh: Badra Nuraga & Tiara Wintriana (Kru Magang) | Foto : M. Yanuar Nur Adi
Nusakambangan tak hanya menyimpan keindahan alam. Pulau ini juga menyimpan sejarah kolonialisme.
S
ELASA, 5 Februari 2013, pukul 5 pagi kami berboncengan dengan sepeda motor menuju Terminal Sukun Banyumanik Semarang. Sesampainya di Terminal Sukun, kami langsung menuju tempat penitipan sepeda motor. Untuk menitipkan satu sepeda motor dikenai tarif Rp 5.000 per hari.
Ada beberapa pilihan dari Semarang menuju Cilacap, bisa dengan shuttle, bus patas, atau bus ekonomi. Menggunakan shuttle dikenakan tarif Rp 62.500, bus patas tarifnya Rp 60.000 dan bus ekonomi tarifnya Rp 50.000. Kami memilih pilihan terakhir.
Kami berencana sampai pulau Nusakambangan siang menjelang sore, oleh karena itu pagi menjadi waktu yang tepat untuk berangkat. Pagi itu kami memilih bus transit Purwokerto karena bus ekonomi yang langsung menuju Cilacap hanya ada pukul 10.00 dan 17.00 WIB. Dari Semarang menuju Purwokerto dikenakan tarif sebesar Rp 35.000 per orang dan dari Purwokerto menuju Cilacap hanya mengeluarkan biaya Rp 10.000. Tepat pukul 05.30 WIB bus berangkat dari Sukun. Tak terasa pukul 11.40 WIB kami telah sampai di Terminal Purwokerto. Disambut beberapa kernet bus yang menawarkan tujuan-tujuan
mereka, ketika kami turun dari bus. Kami menolak, salat dan makan menjadi pilihan kami saat itu. Sembari menunggu kumandang azan dhuhur, kami istirahat sejenak di musala terminal. Setelah salat dan makan, perjalanan kami lanjutkan menuju Cilacap. Waktu telah menunjukkan pukul 13.15 WIB. Dari Purwokerto menuju Cilacap kami menggunakan bus ekonomi kecil yang hanya berkapasitas kurang dari 20 orang. Suasana begitu sepi kala kami memasuki bus, kembali salah seorang diantara kami mulai melontarkan gurauan-gurauan untuk mencairkan suasana. Tepat pukul 15.15 WIB kami sampai terminal Cilacap. Selepas menjalankan kewajiban kepada Sang Khalik, lantas
60
majalah dimensi | edisi 49