MAJALAH DIMENSI | Page 48

\ SKETSA \ MENAPAKI JALANAN TIRTO AGUNG-NGESREP SETIAP MALAM, WISNU TIMUR ARIBOWO MENYUARAKAN SUARA HATINYA TENTANG ALAM, LINGKUNGAN, DAN KEHIDUPAN SOSIAL, BERMODALKAN SEBUAH HARMONIKA, GITAR, DAN SUARA MERDUNYA. TAK SEKADAR MENGEJAR RUPIAH Oleh: Arum Ambarwati | Foto : Bela Jannahti T EMBALANG sudah diselimuti malam. Suasana jalanan sudah lengang. Beberapa orang mulai menutup warung makan, toko, dan tempat usaha lainnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 rupanya. Waktu itu saya dan seorang rekan sedang berada di depan sebuah kafe di daerah Tembalang. Kami menunggu seseorang. Selang tak lama orang yang kami tunggu tiba. Seorang lakilaki berperawakan kurus, tinggi, dengan jaket jeans dan topi. Sebuah gitar dan harmonika tersandang di bahunya. Dia adalah Wisnu Timur Aribowo. Atau lebih dikenal sebagai Ompong. Mas Ompong adalah seorang pengamen jalanan, namun bukan pengamen sembarangan. Dengan iringan gitar dan harmonika, ia melantunkan lagu-lagu yang sarat akan pesan moral tentang sosial dan lingkungan. Pantang baginya menerima imbalan sebelum lagu yang ia bawakan selesai dinyanyikan. Satu hal lagi yang menarik perhatian adalah ia gemar menyanyikan lagu ciptaan Iwan Fals tiap kali ia mengamen. Dilantunkan dengan merdu disertai penjiwaan cukup dalam. Setelah sedikit berbasa-basi, kami memutuskan untuk beranjak dari tempat itu. Pria kelahiran 6 Oktober 1984 ini mengajak kami ke sebuah kafe lain di Banyumanik. Disana tersedia seperangkat alat musik, yang memang disediakan pemilik untuk menggelar live music untuk menghibur para pengunjung. Sesampainya di sana Mas Ompong segera mengambil mikrofon. Melantunkan sebuah lagu beraliran rock. Usai menyanyi, ia memesan secangkir kopi hitam. Kemudian kami memulai obrolan. Tentang hidup dan mata pencahariannya sebagai seorang pengamen jalanan. Mas ompong memulai karirnya sebagai seorang pengamen pada tahun 2000. Saat itu ia diajak seorang temannya untuk ngamen di daerah Tembalang. Sepanjang jalan dari Patung Kuda hingga Bulusan adalah tempat untuknya mengais pundi-pundi rezeki. Dimulai selepas Maghrib, dan dipungkasi pada pukul 22.00. “Saat itu saya belum paham apa itu pengamen. Seiring berjalannya waktu, saya paham. Pengamen itu bukan sekedar gampang golek duit (mudah cari uang-red). Aku menjual seni, bisa nyanyi, dengan suara yang sedemikian rupa. Dikasih uang Alhamdulillah, tidak ya tidak 48 majalah dimensi | edisi 49