\ LAPORAN KHUSUS \
DARI JALANAN HINGGA LINI MASA
Oleh : Bela Jannahti
Dari masa ke masa, suara rakyat yang tertekan tak bisa dibungkam. Pergerakan massa menjadi semacam tradisi yang muncul dalam setiap era. Meski bertransformasi, namun tujuannya tetap sama: mengingatkan pemerintah yang lupa.
P
ADA Juni 2013, Pemerintah kembali memutuskan untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Pro dan kontra terjadi dimana-mana. Menaikkan harga BBM tak pernah menjadi urusan sederhana di negeri ini. Pada hari dimana digelar sidang paripurna untuk memutuskan apakah harga BBM akan naik atau tidak, ribuan massa di berbagai daerah di Indonesia turun ke jalan. Berbagai kalangan turut dalam demonstrasi untuk menolak kenaikan harga BBM. Sebagian besar dari mereka yang turun ke jalan menyuarakan “suara rakyat” berasal dari
kalangan akademisi. Sayangnya, aksi-aksi tersebut tak luput dari tindakan vandalisme atau merusak, bahkan mengarah ke kriminalitas. Masyarakat pun semakin dibikin resah dengan adanya unjuk rasa tersebut. Tak sedikit yang kini bersikap antipati terhadap unjuk rasa atau demonstrasi. Sementara itu, sebagian besar rakyat Indonesia lainnya tak ikut turun ke jalan, namun mereka turut berunjuk rasa. Bagaimana bisa? Dengan hanya bermodalkan jari dan koneksi internet, banyak
dari masyarakat kita menyampaikan pendapatnya kepada khalayak. Ya, di era digital ini, pergerakan massa pun turut berevolusi. Bila dulu masyarakat hanya bisa menentang kebijakan pemerintah melalui demonstrasi atau dengan turun ke jalan, kini masyarakat bisa membuat suatu perubahan melalui dunia maya. Pesatnya perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi dan komunikasi, ternyata dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat untuk berpastisipasi dalam era demokrasi. Kini, tak hanya
24
majalah dimensi | edisi 48