MAJALAH DIMENSI | Page 49

TRADISI Sigit adalah sebuah tempat untuk merenung atau semedi bagi anak cucu warga desa Bakaran Wetan, sedangkan Punden adalah tempat dimana terdapat makam seseorang yang dianggap sebagai cikal bakal masyarakat desa. “Tradisi tidak dapat diubah,” tegas Sukarno ketika mengawali pembicaraan. Sukarno menjelaskan bahwa dua hal tersebut merupakan tradisi yang harus dijalankan oleh pengantin yang berasal dari Desa Bakaran Wetan. Beberapa hari sebelum pernikahan biasanya warga desa yang memiliki hajatan atau bahasa jawanya duwe gawe melakukan bancakan (syukuran) yang dilakukan di Sigit sehingga terkenal dengan sebutan Manganan Sigit. Syarat yang wajib ada dalam manganan Sigit yaitu trancam terong (terong mentah yang diberi santan matang, garam, irisan cabai dan bawang merah), kacang tunggak, serta nasi dan ikan bandeng. Selain syarat wajib diatas dapat pula ditambah dengan telur ayam jawa, pisang hijau, serta nasi berbentuk kerucut yang diatasnya ditaruh bawang merah dan cabai merah. Menurut Sukarno, Manganan Sigit harus dengan ikan bandeng dan tidak boleh memakai ayam. Konon ceritanya hal ini berhubungan dengan legenda Nyi Ageng Banowati sebagai pendiri desa Bakaran Wetan yang menyukai dan gemar menyabung ayam, sehingga ada larangan memakai ayam dalam manganan Sigit. “Pernah ada kejadian, seorang warga desa yang mengadakan manganan Sigit dengan lauk ayam dan ajaibnya ayam yang sudah matang itu berubah menjadi ayam mentah sewaktu saya membuka tutup berupa daun pisang di atas bakul,” tutur Sukarno. Tidak cukup sampai disitu, masih ada tradisi yang kedua yaitu mengelilingi Punden. Hal ini cukup dilakukan sekali saja tanpa menggunakan alas kaki mulai dari awal memasuki pendopo Punden hingga selesai. Hal ini merupakan tata cara pernikahan keraton yang harus dilakukan oleh kedua pengantin dan pengiring (pendamping) pengantin yang biasanya terdiri dari orang tua dan saudara terdekat. Dalam tradisi ini, di barisan paling depan ada orang yang dituakan dan masih mempunyai hubungan keluarga dari pengantin laki – laki ataupun pengantin perempuan yang bertugas membawa tikar bambu dan bantal. Baru setelahnya diikuti oleh kedua pengantin dan para pengiring pengantin. “Tikar bambu dan bantal mempunyai makna dalam membangun rumah tangga harus ada alas atau dasarannya supaya menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah dan mendapat berkah,” ujar Sukarno. Bagaimanapun bentuknya, tradisi ini adalah kebiasaan dan aturan – aturan yang sudah lama dilakukan dari mulai nenek moyang mereka dan melekat pada diri masyarakat hingga sekarang. Terlepas dari percaya atau tidaknya atas konsekuensi yang akan ditanggung apabila tidak menjalankan, itu kembali pada diri sendiri. Tradisi pernikahan adat manganan Sigit dan me