TRADISI
Sigit adalah sebuah tempat untuk merenung atau
semedi bagi anak cucu warga desa Bakaran Wetan,
sedangkan Punden adalah tempat dimana terdapat
makam seseorang yang dianggap sebagai cikal bakal
masyarakat desa.
“Tradisi tidak dapat diubah,” tegas Sukarno ketika
mengawali pembicaraan. Sukarno menjelaskan
bahwa dua hal tersebut merupakan tradisi yang harus
dijalankan oleh pengantin yang berasal dari Desa
Bakaran Wetan. Beberapa hari sebelum pernikahan
biasanya warga desa yang memiliki hajatan atau
bahasa jawanya duwe gawe melakukan bancakan
(syukuran) yang dilakukan di Sigit sehingga terkenal
dengan sebutan Manganan Sigit. Syarat yang wajib
ada dalam manganan Sigit yaitu trancam terong
(terong mentah yang diberi santan matang, garam,
irisan cabai dan bawang merah), kacang tunggak,
serta nasi dan ikan bandeng. Selain syarat wajib
diatas dapat pula ditambah dengan telur ayam jawa,
pisang hijau, serta nasi berbentuk kerucut yang
diatasnya ditaruh bawang merah dan cabai merah.
Menurut Sukarno, Manganan Sigit harus dengan
ikan bandeng dan tidak boleh memakai ayam. Konon
ceritanya hal ini berhubungan dengan legenda Nyi
Ageng Banowati sebagai pendiri desa Bakaran Wetan
yang menyukai dan gemar menyabung ayam, sehingga
ada larangan memakai ayam dalam manganan Sigit.
“Pernah ada kejadian, seorang warga desa yang
mengadakan manganan Sigit dengan lauk ayam
dan ajaibnya ayam yang sudah matang itu berubah
menjadi ayam mentah sewaktu saya membuka tutup
berupa daun pisang di atas bakul,” tutur Sukarno.
Tidak cukup sampai disitu, masih ada tradisi yang
kedua yaitu mengelilingi Punden. Hal ini cukup
dilakukan sekali saja tanpa menggunakan alas kaki
mulai dari awal memasuki pendopo Punden hingga
selesai. Hal ini merupakan tata cara pernikahan
keraton yang harus dilakukan oleh kedua pengantin
dan pengiring (pendamping) pengantin yang biasanya
terdiri dari orang tua dan saudara terdekat. Dalam
tradisi ini, di barisan paling depan ada orang yang
dituakan dan masih mempunyai hubungan keluarga
dari pengantin laki – laki ataupun pengantin
perempuan yang bertugas membawa tikar bambu dan
bantal. Baru setelahnya diikuti oleh kedua pengantin
dan para pengiring pengantin. “Tikar bambu dan
bantal mempunyai makna dalam membangun
rumah tangga harus ada alas atau dasarannya
supaya menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah,
warahmah dan mendapat berkah,” ujar Sukarno.
Bagaimanapun bentuknya, tradisi ini adalah
kebiasaan dan aturan – aturan yang sudah lama
dilakukan dari mulai nenek moyang mereka dan
melekat pada diri masyarakat hingga sekarang.
Terlepas dari percaya atau tidaknya atas konsekuensi
yang akan ditanggung apabila tidak menjalankan,
itu kembali pada diri sendiri. Tradisi pernikahan
adat manganan Sigit dan me