MAJALAH DIMENSI | Page 14

SOSOK Fris Dwi Yulianto: Turun ke Jalan Demi Perubahan Oleh: Ghofur Abdul Aziis | Desain: Afrizal Fajar L angkah Fris Dwi Yulianto sebagai pemuda aktivis telah dimulai sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP), ketika diamanati sebagai Ketua Organisiswa Siswa Intra Sekolah (OSIS). Hari-harinya sebagai aktivis terus berlanjut dengan menjadi pengurus aktif Kerohanian Islam (Rohis) selama menempuh pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Rohis tetap menjadi pilihan pertama setelah memasuki Pendidikan Tinggi Universitas Diponegoro (Undip). Aktif menjadi pengurus Rohis lingkup jurusan hingga Universitas mengantarkannya menjadi Ketua Rohis Fakultas. Namun Rohis bukan satu-satunya bidang aktivitas yang dia tempuh selama di Pendidikan Tinggi. Di tahun 1998, pemuda yang juga pernah menjadi Ketua Rohis Fakultas ini juga mencalonkan diri dan terpilih menjadi Senat Mahasiswa dari Jurusan Perikanan Undip. Dia kemudian mulai aktif dalam bidang penyaluran aspirasi di lingkup mahasiswa. Hal itu membuat daya kritis dan tanggap Fris terhadap situasi sosial saat itu mulai tumbuh. Setelah puluhan tahun di bawah tekanan keterbatasan dalam berserikat dan berkumpul, Fris dan kawan-kawan seperjuangannya memulai misi besar, meruntuhkan rezim Orde Baru. Memasuki tahun 1998, di tengah kondisi perekonomian yang sedang terpuruk, Fris melalui organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) mulai turun ke jalan (aksi demonstrasi) menyuarakan aspirasi rakyat. “Menurunkan rezim Orde Baru dan menghakimi Soeharto beserta kroni-kroninya yang menjadi simbol Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan anti demokrasi saat itu,” jelasnya ketika menceritakan kembali tuntutan rakyat saat Reformasi pecah. Gerakan tidak menggunakan Hak Suara atau yang 14 | DIMENSI sering dikenal di masyarakat sebagai Golongan Putih juga sempat dia rasakan. “Saat itu kami merasa dari ketiga partai besar yang ada, tidak bisa memenuhi aspirasi rakyat. Bersamaan dengan itu pula kursikursi di pemerintahan dan parlemen banyak diisi dengan restu Soeharto,” jelasnya kembali. Sebagai informasi, Orde Baru hanya mengizinkan 3 partai untuk ikut dalam Pemilihan Umum, yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI-sekarang TNI) juga tidak luput dari sorotan para aktifis saat itu. Fris menjelaskan bagaimana kekuasaan pemerintah yang tidak terkendali saat itu menempatkan ABRI yang merupakan alat pertahanan Negara menjadi salah satu alat politik bagi pemerintahan yang sedang berkuasa. “Di masa Orde Baru, orang militer menjadi Gubernur atau Bupati sudah biasa.” Pernah menjadi pemuda yang ikut berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi Fris. Motivasi terbesarnya turun ke jalan adalah bisa bermanfaat bagi masyarakat dan beban moral yang luar biasa terhadap kondisi saat itu. “Walaupun mahasiswa hanya 2% dari jumlah warga Indonesia, tapi mahasiswa merupakan pilar penting negara. Ketika mahasiswa salah dalam mengambil keputusan, negara memang tidak akan runtuh. Namun ketika mahasiswa tidak lagi bergerak, aspirasi rakyat tidak lagi tersalurkan.” Kenyang dengan pengalaman aksi menyuarakan aspirasi rakyat, pascareformasi akhirnya lulusan Sarjana Perikanan Undip ini berhasil terpilih menjadi Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Kini Fris sedang mengabdi sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah.