SOSOK
Fris Dwi Yulianto:
Turun ke Jalan Demi Perubahan
Oleh: Ghofur Abdul Aziis | Desain: Afrizal Fajar
L
angkah Fris Dwi Yulianto sebagai pemuda
aktivis telah dimulai sejak Sekolah Menengah
Pertama (SMP), ketika diamanati sebagai
Ketua Organisiswa Siswa Intra Sekolah
(OSIS). Hari-harinya sebagai aktivis terus berlanjut
dengan menjadi pengurus aktif Kerohanian Islam
(Rohis) selama menempuh pendidikan Sekolah
Menengah Atas (SMA).
Rohis tetap menjadi pilihan pertama setelah
memasuki Pendidikan Tinggi Universitas Diponegoro
(Undip). Aktif menjadi pengurus Rohis lingkup jurusan
hingga Universitas mengantarkannya menjadi Ketua
Rohis Fakultas.
Namun Rohis bukan satu-satunya bidang aktivitas
yang dia tempuh selama di Pendidikan Tinggi. Di
tahun 1998, pemuda yang juga pernah menjadi
Ketua Rohis Fakultas ini juga mencalonkan diri dan
terpilih menjadi Senat Mahasiswa dari Jurusan
Perikanan Undip. Dia kemudian mulai aktif dalam
bidang penyaluran aspirasi di lingkup mahasiswa. Hal
itu membuat daya kritis dan tanggap Fris terhadap
situasi sosial saat itu mulai tumbuh.
Setelah puluhan tahun di bawah tekanan
keterbatasan dalam berserikat dan berkumpul, Fris
dan kawan-kawan seperjuangannya memulai misi
besar, meruntuhkan rezim Orde Baru. Memasuki
tahun 1998, di tengah kondisi perekonomian yang
sedang terpuruk, Fris melalui organisasi Kesatuan
Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) mulai
turun ke jalan (aksi demonstrasi) menyuarakan
aspirasi rakyat. “Menurunkan rezim Orde Baru
dan menghakimi Soeharto beserta kroni-kroninya
yang menjadi simbol Korupsi Kolusi dan Nepotisme
(KKN) dan anti demokrasi saat itu,” jelasnya ketika
menceritakan kembali tuntutan rakyat saat Reformasi
pecah.
Gerakan tidak menggunakan Hak Suara atau yang
14 | DIMENSI
sering dikenal di masyarakat sebagai Golongan Putih
juga sempat dia rasakan. “Saat itu kami merasa dari
ketiga partai besar yang ada, tidak bisa memenuhi
aspirasi rakyat. Bersamaan dengan itu pula kursikursi di pemerintahan dan parlemen banyak diisi
dengan restu Soeharto,” jelasnya kembali. Sebagai
informasi, Orde Baru hanya mengizinkan 3 partai
untuk ikut dalam Pemilihan Umum, yaitu Golongan
Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI-sekarang TNI) juga tidak luput dari sorotan
para aktifis saat itu. Fris menjelaskan bagaimana
kekuasaan pemerintah yang tidak terkendali saat itu
menempatkan ABRI yang merupakan alat pertahanan
Negara menjadi salah satu alat politik bagi
pemerintahan yang sedang berkuasa. “Di masa Orde
Baru, orang militer menjadi Gubernur atau Bupati
sudah biasa.”
Pernah menjadi pemuda yang ikut berperan aktif
dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian menjadi
pengalaman yang sangat berharga bagi Fris. Motivasi
terbesarnya turun ke jalan adalah bisa bermanfaat
bagi masyarakat dan beban moral yang luar biasa
terhadap kondisi saat itu. “Walaupun mahasiswa
hanya 2% dari jumlah warga Indonesia, tapi
mahasiswa merupakan pilar penting negara. Ketika
mahasiswa salah dalam mengambil keputusan,
negara memang tidak akan runtuh. Namun ketika
mahasiswa tidak lagi bergerak, aspirasi rakyat tidak
lagi tersalurkan.”
Kenyang dengan pengalaman aksi menyuarakan
aspirasi rakyat, pascareformasi akhirnya lulusan
Sarjana Perikanan Undip ini berhasil terpilih menjadi
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Kini Fris
sedang mengabdi sebagai anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah.