Majalah Cakrawala Edisi 422 Tahun 2014 | Page 65

Pada tanggal 15 Juli 2003, kapal Samudraraksa lahir dan diresmikan oleh Menteri Pariwisata yang saat itu dijabat oleh I Gede Ardika, dan perwakilan budaya dari UNESCO, Philippe Delanghe. Pelayaran kapal Samudraraksa berlangsung selama 6 bulan dimulai dari Pelabuhan Marina Ancol – Jakarta pada 15 Agustus 2003 dan tiba di Pelabuhan Tema, Accra, Ghana pada 23 Februari 2004. Pelayaran ini dilaksanakan sebagai salah satu kegiatan napak tilas untuk membuktikan hubungan perdagangan bahari purba antara Indonesia dan Afrika (khususnya pesisir Afrika Timur dan Madagaskar) yang telah terjadi pada masa lampau. Jalur pelayaran Samudraraksa merupakan jalur perdagangan komoditas kayu manis, mengambil rute melintasi Samudra Hindia dan singgah di beberapa wilayah di Seychelles, Madagaskar, Afrika Selatan, hingga Ghana. Menempuh jarak kurang lebih 12.210 mil. Nahkoda Perahu Kayu Dalam ekspedisi kapal ini tidak menggunakan mesin, hanya mengandalkan layar dan dayung. Ekspedisi ini dipimpin oleh nahkoda yang berasal dari personel TNI Angkatan Laut saat itu Kapten Laut (P) Putu Sadana dengan total Anak Buah Kapal (ABK) secara keseluruhan 27 orang, yang terdiri dari para pelaut modern dari berbagai negara, nelayan tradisional Indonesia dan mahasiswa Indonesia sebagai wakil budaya sekaligus penerjemah. Menurut Putu Sadana yang saat ini menempati jabatan sebagai Perwira Pelaksana (Palaksa) Pang­ kalan Angkatan Laut (Lanal) Pontianak menyampaikan bahwa saat berlayar dibagi dalam beberapa etape. Dalam pelayaran menempuh etape tujuan Kapal Samudraraksa di­ awaki oleh 11 orang ABK. Dalam pelayaran dari mulai berangkat dan singgah di etape tujuan ada beberapa ABK dilaksanakan peng­ gantian kru perahu, namun kru kapal dalam berlayar tetap berjumlah 11 ABK. Dalam pembuatannya, S a m u d r a r a k s a menggunakan tujuh jenis kayu (yaitu kayu ulin, bungor, jati, kalimpapa, bintagor, kesambi dan nyamplong) dengan ukuran panjang 18,29 meter, lebar 4,25 meter, dan tinggi badan kapal 2,45 meter tanpa menggunakan sebatang paku atau besi. Sementara cadik ganda dan poros penggulung layar kapal terbuat dari bambu pilihan. Kayu dan bambu dirangkai satu sama lain dengan pasak kayu atau diikat dengan tali temali tradisional yang terbuat dari tumbuhan, yaitu sabut kelapa, serat nanas, dan ijuk, termasuk tali untuk pengikat layar. Perjalanan tentu berlangsung penuh kesan dan yang pasti dengan sejuta rintangan. Tidak pernah mudah mengarungi lautan, namun akhirnya Samudraraksa membuktikan betapa tangguhnya pelaut Indonesia. ‘Nenek Moyangku Seorang Pelaut’ itu bukan sekedar mitos lagi, keturunannya sudah membuktikan dan berharap semangat kelautan bangsa ini terus tumbuh di jiwa penerus-penerusnya. Samudraraksa kemudian kembali ke pangkuan Borobudur, tempat di mana inpirasi dan mimpi-mimpi tentangnya pertama kali tersirat. Semangat bahari yang tergambarkan di relief Candi Borobudur bersama dongeng sejarah panjang tentang ‘Nenek Moyangku Seorang Pelaut’ telah dibuktikan dengan keberhasilan ekpedisi sampai ke Madagaskar. ©Agus C. Cakrawala Edisi 422 Tahun 2014 65