OPINI
Ideologi “ Klik ”
Oleh Dr . W . GUNAWAN , M . Si Alumnus S3 Ilmu Pemerintahan Unpad , staf pengajar tetap pada Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Jendral Achmad Yani , Cimahi
ISTILAH ideologi kali pertama diciptakan oleh Desstutt de Tracy tahun 1976 di Perancis ( Sutrisno , 2006 ). Secara etimologis , ideologi berarti the scince of ideas . Namun , setelah Daniel Bell menulis gagasan The End of Ideology maka sebagian kalangan menganggap bahwa ideologi telah tewas . Namun belakangan ini muncul ideologi klik di kalangan pengguna media sosial ( medsos ) dengan kesadaran palsu , sebagaimana dulu Karl Mark menyebut bahwa ideologi adalah kesadaran palsu . Sebab , masih menurut Marx , ideologi merupakan buah pikiran yang ditetaskan oleh pemikirnya karena adanya kepentingan . Oleh sebab itu , setiap ideologi selalu menyangkut soal kepentingan . Tulisan ini mencoba menyimak beberapa realitas pengguna media sosial , dengan menggunakan konsep “ kesadaran palsu ” sebagaimana yang disebutkan Marx . Penulis menggunakan terma ideologi “ klik ” untuk melihat kebiasaan pengguna media sosial , yang tanpa pikir panjang , hampir selalu meng-klik setiap sesuatu yang disukainya . Beberapa fenomena tersebut di antaranya : Pertama , setiap kali membuat account , hampir selalu tidak membaca apa yang disyaratkan , dan karenanya selalu mengklik “ ok ” atau “ accept ” atau klik “ next ”. Oleh sebab itu maka mengklik seakan menjadi ideologi baru dengan kesadaran palsu . Maksudnya , saat mengkliknya “ sadar ” tapi tidak mengerti mengapa harus mengklik , sehingga dapat dikatakan “ sadar ” -nya itu paslu . Bisa jadi pula hal tersebut merupakan wujud mewabahnya budaya “ jalan pintas ”, tanpa mau membaca , langsung klik . Kedua , sebagian pengguna media sosial , pada umumnya , juga selalu mengklik setiap jenis sumber informasi untuk kepentingan dirinya sendiri , dan karena dirinya merasa terwakili oleh informasi tersebut , ia merasa lega , tanpa harus melakukan uji ulang terlebih dahulu terhadap validitas informasi tersebut . Ini pun bisa disebut ideologi klik dengan kesadaran palsu . Jika merasa terwakili oleh pernyataan si A , maka apapun yang dikatakan oleh si A selalu dibela dan didukungnya . Jika sudah benci kepada si B maka apapun kebenaran yang dikerjakan oleh si B selalu saja dianggap buruk . Tidak ada kebeningan berpikir dan kejernihan hati , yang ada adalah “ kami benar ” dan “ kalian salah ”. Padahal kita semua sama-sama anak kandung bangsa Indonesia . karena perilaku yang demikian itulah maka kemudian hoax menemukan lahan subur , dan implikasinya ,
masyarakat Indonesia , menjadi gampang dipecah-belah . Ada kesadaran palsu di sini , sebab kesadaran akan diadudombakan adalah semu , terbukti ngomongnya “ kita sedang diadudomba ” tapi kelakukannya tetap saja senang mengadudomba . Palsu di sini maknanya adalah , apa yang diucapkan tidak sejalan dengan yang dilakukan . Contoh kesadaran palsu lainnya , ucapannya berkata “ saya sedang membela Islam ” tapi kelakuannya adalah menghina orang lain , memfitnah , menghujat , menistakan pihak lain , sambil menepuk dada seakan dirinya dan kelompoknyalah yang paling benar , padahal Islam tidak mengajarkan kebencian . Tidak ada satunya kata dan perbuatan , merupakan saripati dari apa yang dimaksud kesadaran palsu . Hal tersebut sejalan dengan teori kebenaran yang tertua di dunia yakni teori korespondensi . Menurut teori ini , kebenaran adalah kesetiaan terhadap realitas obyektif ( fidelity to objective reality ), dan karenanya , kebenaran adalah kesesuaian ( correspondence ) antara pernyataan dengan kenyataan . Bagaimana kemudian apabila yang terjadi justru ketidaksesuaian antara pernyataan dengan kenyataan ? Pernyataannya di media sosial ( medsos ) anti korupsi tapi beberapa waktu berselang yang bersangkutan ditangkap KPK . Pertanyaannya di medsos tidak anti Pancasila tapi kenyataannya yang bersangkutan berharap agar Indonesia menjadi Negara Islam ? Pernyataannya di medsos toleransi harus ditegakan di bumi pertiwi tapi kelakuannya selalu menghina kaum minoritas . Pernyataannya di medsos Indonesia kaya akan budaya tapi diam-diam menghina budaya ? Lebih aneh lagi , para pihak yang mengklaim dirinya tokoh tersebut selalu dan hampir dikultuskan oleh para pengikutnya . Itulah sebagian cuplikan realitas ideologi klik medsos yang sedang mewabah belakangan ini . Tentu masyarakat Indonesia pada umumnya sedang merindukan tokoh formal dan nonformal yang tidak memaksakan kehendak dengan berlindung di balik jubah agama atau kepentingan lainnya sebab tidak ada satupun ajaran agama yang membolehkan pemaksaan kehendak , tidak ada ajaran agama yang membolehkan seseorang menghina pihak manapun . Kini , pihak keamanan yang diberi amanat oleh konstitusi harus bertindak keras dan cerdas agar Indonesia terbebas dari ideologi klik yang berimplikasi terhadap perpecahan bangsa . ***
40
Majalah BEWARA Edisi 15 | Februari 2017