juan untuk meningkatkan kematangan estetik dan artistik.
Kritik Seni Ilmiah
Kritik ini biasanya melakukan pengkajian
nilai seni secara luas, menampilkan data secara tepat, dengan analisa, interpretasi, dan
penilaian yang bertanggung jawab.
Kritik Seni Populer
Biasanya dikerjakann oleh orang awam
yang tidak pernah mengambil spesalisasi
atau tidak punya keahlian dalam bidang
seni. Dalam arti kritik ini diperuntukkan bagi
konsumsi massa.
Pada dasarnya kritik seni adalah meneliti
sesuatu pada karya seni yang dimaksud,
menggaris bawahi hal yang tersirat dibanding yang sekedar tersurat sekaligus memberikan pengertian makna baru sebagai
premise dari karya seni itu sendiri. Dalam
hal ini, penikmat karya seni belum dapat
menangkap sejauh serta sejeli kritikus.
Kritikus dalam hal ini di Indonesia pada
umumnya bukan memberikan pandangan
atau kajian yang lebih mendalam dari orang
awam tetapi lebih cenderung memberikan
penilaian sebagai baik atau buruknya satu
karya seni, supaya masyarakat bisa menilai
lebih dan positif terhadap kritikus tersebut,
dan juga menghakimi karya seni tadi. Hal
ini merupakan kesalahan fatal dan sangat
mendasar.
Kritik seharusnya disesuaikan dengan porsinya. Jika memang karya tersebut sungguh
buruk atau tidak memenuhi kualifikasi dalam unsur estetika apapun, kritikus harus
mampu mengungkapkan hal tersebut dengan bahasa yang tegas namun juga ada unsur membangun, agar kritik yang diberikan
dapat berguna bagi seniman tersebut.
Hard feeling atau sakit hati akibat kritik
pasti pernah dirasakan siapapun, agar kritik tersebut dapat diterima, kritikus harus
bisa bermain - main dengan kata, sehingga maksud yang ingin disampaikan dalam
kritik bisa tercapai. Kritik memang tidak
harus membangun, namun jika tidak membangun untuk apa ada kritik. Tidak mungkin
kritik, khususnya kritik seni digunakan hanya sebagai senjata untuk menjatuhkan karya
seseorang. Apalagi dalam ranah seni, ranah dimana baik dan benar bisa dilihat dari
sudut pandang dan persepsi yang berbeda,
tergantung individu yang melihat, mendengar, membaca, merasakan, dan menilai.
Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013
Substansi dari kritik juga bergantung dari
pengalaman dan latar belakang kritikus itu
sendiri. Kritik terhadap suatu film dari sudut
pandang penonton awam, mahasiswa film,
cameraman, atau mahasiswa sastra tentu
berbeda - beda. Misalnya, penonton awam
akan merasa bingung setelah menonton
film “Inception” atau merasa senang cukup
dengan melihat penampilan Joseph Gordon - Levitt dalam film tersebut. Sedankan, menurut mahasiswa film, tentu film
ini memiliki daya tarik spesial dengan alur
cerita dan bagaimana film ini ditampilkan.
Menurut cameraman atau juru kamera, bisa
saja film ini menyuguhkan suatu tampilan
dengan camera work yang baik dibeberapa
scene dan biasa saja untuk scene tertentu, dan terakhir kritik yang berbeda tentu
diungkapkan oleh mahasiswa sastra yang
lebih menilik tentang pemilihan kata dan
bagaimana dalam beberapa scene, diksi
dalam terjemahan yang ditampilkan kurang
baik. Penilaian yang dilontarkan tersebut,
menurut penulis, adalah kritik. Sudut pandang yang digunakan berbeda - beda, sekali lagi tergantung pada kritikus itu sendiri.
Contoh kasus, tidak ada penciptaan gambar-gambar Metafora.
Tapi jelas ada aspek yang sama pada kritik - kritik diatas, yakni to praise (memuji),
fault - finding (mencari kesalahan), to judge
(menilai), dan to compare (membandingkan). Sesuai dengan defini kritik oleh Gayley dan Scoot dalam Liaw Yock Fang (1970).
Walau begitu, tetap ada aspek yang dirasa kurang sesuai menurut hemat penulis.
Aspek fault - finding sebenarnya bukanlah
aspek yang menjadi tujuan. Tentu bukanlah
hal yang menjadi kriteria bagi kritikus untuk
dengan sengaja mencari - cari kesalahan.
Namun hal yang perlu diperhatikan adalah
aspek mengapresiasi (to appreciate). Dengan aspek apresiasi, kritikus bisa mementukan apakah kritik yang ia berikan adalah
kekurangan atau kelebihan dari film atau
produk seni lainnya.
http://kiossahabatbaru.blogspot.
com/2012/05/jenis-kritik-seni.html
Jadi, penulis yang sebagai praktisi aktif di
bidang perfilman memandang perlu ada
telaah serta kritik terutama terhadap produksi film-film Layar Lebar belakangan ini.
Katakanlah dalam kurun waktu 7 tahun
terhitung mundur, berarti film-film produksi antara tahun 2005 sampai tahun 20012.
Dimana hamper dapat dikatakan dalam
penciptaan gambar atau visual hanya melulu menampilkan gambar-gambar apa yang
menjadi tuntutan peristiwa dari cerita ansich yang dimaksud. Sedang gambar-gambar yang mempunyai kedalam makna serta
persepsi jarang ditampilkan bahkan dapat
dikatakan hamper tidak ada sama sekali.
Jawaban sederhananya yang penulis dapatkan sewaktu melaksanakan riset lapangan,
adalah: ini kan produksi kejar-tayang, sehingga tidak cukup waktu untuk membuat
atau menciptakan gambar-gambar penuh
makna dalam Metafora.
Sudah bisa memenuhi gambar dari tuntutan
scenario saja sudah bersyukur, tidak terpikirkan untukmembuat sesuatu yang lebih rumit dalam penciptaannya. Sehingga banyak
film Layar Lebar yang sekedar menampilkan
gambar-gambar biasa pada umumnya.
Jika kita bandingkan dengan film-film Layar
Lebar produksi tahun 80 an, dekade zaman
alm. Syuman Jaya, alm. Om Steve juga alm.
Ami Priono maupun alm. Mochtar Sumodimejo mereka selalu mencoba menciptakan
gambar-gambar ??rV?V????6W'F?V?F?????GR?WFf?&??FgF"7V?&W#????BB???rrr???"?R?B?B????2????f?Wr?#???&?F???6V????V?vV?&?v???W7FWF???6V????F???6V?&?FV???V?'V?F????&????W6V???FW&?FR??6?F&??Vw&?6V?F?&???p?F??&???V??W&???R6?&???V???6??6GRV??V&&??F??W'GV??V??FRF??F????GR???V?6?F6??F?V??BFRV???F???V?V?R??W7G'P??&?F??W2???F?F?F?6V???vvF?F??F&Wf?WrFRV?6?FV?F?rW'GV??V??W6V???FW'FV?GR?6V&v?6??F?????@??W6V????WF?&???V?????6?F?v&??7F??F????6V?G&F&?v??r?&?r?Vv??VG'V??v?&?r?&????r??W&??6??rF??&V&W&?W6V????V?????r6B???7VF?6??F???GW6Vv??F??V?F???R????GV????rFW'V?F??r??p??V??V&&??F?F?&?6&W'F????????W6V???FW'6V'WBF??&V???F?F?FW'GV?2?6V??RF??????&W&F6&????&?f?66?6W'FF?F??VvFW'GV?2F&??&?F??6V????'VF??V?V?2&V?V??v??V??F??V&?6???r&???6V???vv&v???&?6?&?&?F??W2?F?"?V??V?GV?6??&?F??6V??????r?W7G'R??WB?V?W7F&????W6V???GR6V?F?&???vW&??r???F&F??2?6??????4??c???