Majalah AKSI Edisi 1 No.2 / 2013 | Page 11

sebuah toko ikan di konya street, yamatokoriyama kami mengunjungi empat kuil, yaitu Gango-Ji Temple, Hotokuji Temple, dan Todaiji Temple, yang merupakan kuil Buddha, serta Kasuga Taisha Shrine—sebuah kuil agama Shinto. Setiap kuil menyimpan pesona dan rahasianya masing-masing, namun semuanya punya satu hal yang sama. Kuil-kuil ini adalah bukti betapa seriusnya Jepang dan penduduknya dalam melestarikan hal-hal yang bersifat tradisional dan turun-temurun. Merupakan kontras yang menarik jika kita membandingkan kereta Shinkansen dengan kuil-kuil ini. Dua hal yang berasal dari dua spektrum waktu yang berbeda, namun keduanya masih dapat ditemukan di Jepang saat ini juga. Dan keduanya sama-sama merupakan hal yang membuat Jepang menarik. Selain kegembiraan yang berasal dari kunjungan kesana kemari di sekitar Nara, sebuah kesenangan lain pun terasa sangat kental diantara para peserta, khususnya di grup yang saya anggotai, Nara H. Persahabatan yang awalnya ditanam saat sehari dan semalam di Tokyo telah tumbuh menjadi lebih kuat diantara kami. Seiring berjalannya waktu kami di Nara, grup ini semakin terasa seperti sebuah keluarga. Saya masih takjub mengenai bagaimana tiga puluh orang dari sepuluh negara berbeda bisa kenal dan akrab begitu cepat, hanya dalam waktu yang singkat. Kami begitu menikmati kegiatan-kegiatan yang mengharuskan kami Majalah AKSI | 11 menghabiskan waktu bersama dan berdiskusi. Lucunya, kegiatan yang paling kami senangi bukanlah program yang direncanakan dari pihak penyelenggara. Kami punya rutinitas sendiri, yaitu saling bertukar pengetahuan mengenai bagaimana mengatakan beberapa ekspresi, seperti “I love you” dalam berbagai bahasa yang digunakan di ASEAN. Setiap hari, kami berlatih mengatakan frase sederhana dalam bahasa Indonesia, Melayu, Tagalog, Thailand, Kamboja, dan lain-lain. Di luar susunan kegiatan yang resmi, kami seperti membuat klub bahasa kecil-kecilan