sebuah toko ikan di konya
street, yamatokoriyama
kami mengunjungi empat kuil, yaitu Gango-Ji Temple, Hotokuji Temple, dan Todaiji
Temple, yang merupakan kuil Buddha, serta
Kasuga Taisha Shrine—sebuah kuil agama
Shinto. Setiap kuil menyimpan pesona dan
rahasianya masing-masing, namun semuanya punya satu hal yang sama. Kuil-kuil ini
adalah bukti betapa seriusnya Jepang dan
penduduknya dalam melestarikan hal-hal
yang bersifat tradisional dan turun-temurun. Merupakan kontras yang menarik
jika kita membandingkan kereta Shinkansen
dengan kuil-kuil ini. Dua hal yang berasal
dari dua spektrum waktu yang berbeda,
namun keduanya masih dapat ditemukan
di Jepang saat ini juga. Dan keduanya sama-sama merupakan hal yang membuat
Jepang menarik.
Selain kegembiraan yang berasal dari
kunjungan kesana kemari di sekitar Nara,
sebuah kesenangan lain pun terasa sangat
kental diantara para peserta, khususnya di
grup yang saya anggotai, Nara H. Persahabatan yang awalnya ditanam saat sehari
dan semalam di Tokyo telah tumbuh menjadi lebih kuat diantara kami. Seiring berjalannya waktu kami di Nara, grup ini semakin
terasa seperti sebuah keluarga. Saya masih
takjub mengenai bagaimana tiga puluh
orang dari sepuluh negara berbeda bisa
kenal dan akrab begitu cepat, hanya dalam
waktu yang singkat. Kami begitu menikmati
kegiatan-kegiatan yang mengharuskan kami
Majalah AKSI | 11
menghabiskan waktu bersama dan berdiskusi. Lucunya, kegiatan yang paling kami
senangi bukanlah program yang direncanakan dari pihak penyelenggara. Kami punya
rutinitas sendiri, yaitu saling bertukar pengetahuan mengenai bagaimana mengatakan
beberapa ekspresi, seperti “I love you”
dalam berbagai bahasa yang digunakan di
ASEAN. Setiap hari, kami berlatih mengatakan frase sederhana dalam bahasa Indonesia, Melayu, Tagalog, Thailand, Kamboja,
dan lain-lain. Di luar susunan kegiatan yang
resmi, kami seperti membuat klub bahasa
kecil-kecilan