“Pah ... pah bangun paah!” teriak
seorang anak dengan raut penuh harap.
Remang-remang.
Kubuka
mata
perlahan hingga yang tampak hanyalah
besi-besi berdiri tegak, dengan sela-sela
yang berjarak sama dan rapat. Ya, jeruji
besi. Besi yang mempertanyakan kembali
keyakinan dan prinsip dalam hidupku. Besi
yang
mengguncangkan
kembali
ingatan
tentang laku lampah masa laluku.
“Pahh...?” seorang anak perempuan
yang kuyakini suara si bungsu memanggilmanggil.
1