OPINION
Berdasarkan data di atas menunjukkan
bahwa GDP Indonesia mengalami penurunan.
Dalam kuartal pertama tahun ini, Indonesia hanya
berhasil mencatat pertumbuhan 4.71% (yoy), lebih
rendah dibanding pertumbuhan 5.14% di kuartal
sebelumnya. Meski perlambatan pertumbuhan
ekonomi Indonesia saat ini telah diprediksi oleh
berbagai pihak, namun Bank Indonesia menekankan
bahwa pihaknya berkomitmen untuk menjaga
kebijakan moneter ketat demi mengendalikan
stabilitas makro. Ditegaskan pula bahwa BI akan
terus berkoordinasi dengan pemerintah, tetapi tidak
akan membiarkan terjadinya intervensi pemerintah
terhadap kebijakan moneter. Depresiasi Rupiah
makin membebani dengan melorotnya cadangan
devisa akhir April ke 110.9 miliar USD dari
111.6 miliar USD pada akhir bulan Maret akibat
meningkatnya pengeluaran untuk pembayaran
utang luar negeri pemerintah serta penggunaan
devisa guna stabilisasi nilai tukar Rupiah. Meski
begitu, menurut Bank Indonesia, cadangan
devisa tersebut masih diatas standar kecukupan
internasional karena masih cukup membiayai 6.9
bulan impor.
Di akhir kata sebagai penutup, saya mengutip
salah satu pernyataan yang tertuang di salah satu
kolom dari The Economist edisi Asia yang dengan
nada optimis menyatakan bahwa, “in the longer
term, Indonesia’s prospects are brighter. Better
infrastructure should lower transport costs and
attract more business investment—including from
foreigners. With a healthier and better-educated
workforce, Indonesia would rely less on extractive
industries. Instead, more people could find work
in services and higher-value manufacturing—
semiconductors and smartphones rather than
T-shirts and trainers. And having got fuel subsidies
out of the way, Jokowi can move on to thornier
problems of streamlining a tangled tax regime,
regulatory apparatus and government bureaucracy.
Ditulis Oleh:
Sri Wahyudi
EDISI X MEI 2015
23