TOPIK TERKINI
LRT dan MRT,
Solusi Kemacetan
di Perkotaan
Kemacetan lalu lintas merupakan dinamika yang mewarnai kota-kota besar
dengan perputaran roda ekonomi yang begitu pesat. Jakarta adalah contoh
kota besar yang hingga kini belum mampu melepaskan diri dari masalah
klasik tersebut.
Menurut riset berjudul Inrix 2017 Traffic Scorecard,
Jakarta berada pada peringkat 12 kota-kota
termacet di dunia, dan berada pada urutan dua
setelah Bangkok untuk kawasan Asia.
Pada pengujung 2017, Bappenas juga sudah
merilis perhitungan terkait kerugian bahan
bakar yang dikeluarkan akibat kemacetan
di Jakarta, yaitu mencapai 5 miliar dolar AS
atau sekitar Rp67,5 triliun setiap tahunnya.
Nilai yang tidak bisa dibiarkan menguap
begitu saja tanpa hasil yang nyata.
Keberadaan Mass Rapid Transit (MRT) dan
Light Rapid Transit (LRT) menjadi salah satu
solusi mengurangi kemacetan di Jakarta.
Keduanya hadir menyemarakkan moda
transportasi yang sebelumnya sudah ada
di Tanah Air, yakni Commuter Line (KRL)
yang memiliki fungsi dan model yang mirip
dengan MRT dan LRT. Lalu, apa perbedaan
di antara ketiganya? Mari kita perhatikan
beberapa perbedaan berikut
PERBEDAAN
MRT, LRT & KRL
MRT LRT KRL
Rangkaian Kereta 6 gerbong 2-4 gerbong 8-10 gerbong
Kapasitas Penumpang 1.950 penumpang 600 penumpang 2.000 penumpang
Target Penumpang per Hari 173.400 penumpang 360.000 penumpang 1.200.000 penumpang
Perlintasan Layang & Bawah Tanah Layang Layang & Atas Tanah
Pengoperasian Sistim Otomatisasi Masinis Masinis
8
Vol. 3 - No. 10 | Agustus 2018 | GREAT ISS
Pembangunan sistem transportasi MRT atau
LRT bukan semata-mata soal kelayakan
ekonomi atau finansial. Dengan kata lain,
bukan sekadar persoalan untung rugi. Namun,
lebih mencerminkan bagaimana sebuah kota
mendukung kegiatan perekonomian warganya.
Tujuan dibangunnya sistem MRT atau LRT adalah
agar warga kota bisa melakukan mobilitas
mereka dengan sarana yang bisa diandalkan,
terpercaya, aman, nyaman, serta terjangkau.
Selanjutnya, kondisi seperti apa yang bisa
mendukung tercapainya tujuan utama
pembangunan sistem transportasi MRT atau
LRT? Pertama, adanya kemitraan dengan setiap
pemangku kebijakan baik sebagai regulator
maupun operator. Kedua, terkait peningkatan
kapasitas bagi setiap insan dan institusinya.
Ketiga, integrasi dengan moda transportasi
massal lainnya seperti kereta api jalur lingkar
atau feeder. Hal yang tidak kalah penting adalah
jarak antara stasiun LRT atau MRT sehingga
memudahkan penumpang turun lebih dekat ke
tujuan akhir mereka.
Sejatinya, budaya bertransportasi juga
ditentukan oleh infrastruktur transportasi yang
dibangun pemerintah. Masyarakat di negara-
negara maju, misalnya Singapura, Jepang
atau Jerman adalah masyarakat yang patuh
dan disiplin dalam menggunakan transportasi
umum berbasis rel. Sangat bertolak belakang
dengan budaya transportasi mobil pribadi yang
cenderung boros sebagai akibat kemacetan.
Perubahan pola bertransportasi pernah dan akan
tetap terjadi dalam kehidupan masyarakat sebuah
kota atau negara. Jadi, kita juga diharapkan untuk
bisa menyesuaikan diri ketika MRT atau LRT
beroperasi penuh di kota-kota besar di Indonesia.
Mari kita dukung budaya bertranportasi yang
baru ini demi kemajuan, kenyamanan, dan
kualitas hidup yang lebih baik di Indonesia.