istimewa
Pertamina
satunya korupsi yang akut.
Undang-Undang No. 8 tahun 1971
yang mengukuhkan Perusahaan Negara
(PN) Pertamina menjadi PT Pertamina,
turut mendorong BUMN minyak dan gas
(migas) tersebut menjadi satu-satunya
BUMN yang mengelola sektor migas
secara nasional. Dan, dampak negatif
pun muncul.
Di masa awal pemberlakuan UU
1971, Pertamina menjadi perusahaan
yang sangat disegani, termasuk di
dunia. Dari sisi pendapatan, bila pada
tahun 1969/1970 penerimaan migas
dari Pertamina masih Rp 66 triliun atau
sekitar 27% APBN, pada 1981/1982
melonjak menjadi Rp 8.628 triliun (71%
APBN).
Amanat kekuasaan yang besar dari
UU No. 8 Tahun 1971, memunculkan
sistem kontrol yang lemah terhadap
Pertamina. Disokong oleh keputusan
pemerintah dan DPR di era 1970-an
yang menetapkan penerimaan migas
diputuskan untuk digunakan sebagai
sumber dana non migas, penghasilan
besar-besaran dari Pertamina kemudian
menguap tak jelas. Bahkan Pertamina
terlilit utang super jumbo.
Sungguh ironis, Pertamina yang
telah menghasilkan banyak pemasukan
negara tidak memiliki banyak dana
untuk keperluan investasi dan
pengembangan bisnis. Lebih ironis
sebab untuk keperluan investasi ditutup
dengan utang jangka pendek dengan
bunga besar.
Hal itu sangat kental terlihat sebelum
1976 ketika Pertamina dipimpin oleh
Ibnu Sutowo, mantan petinggi militer
yang diangkat oleh Soeharto menjadi
Dirut Pertamina. Puncak dari ini semua
terjadi pada 1974.
Dirut Pertamina Ibnu Sutowo
ketika itu banyak meminjam dana
kepada bank-bank Amerika. Krisis
keuangan Pertamina mulai mencuat
saat diketahui Pertamina tak mampu
melunasi utang jangka pendek US$ 40
juta. Rahasia dapur Pertamina itu terkuak
ke publik setelah konsorsium Bank AS
mengumumkannya pada 18 Februari
1975.
Krisis keuangan Pertamina benarbenar mengancam. Pada 10 Maret 1975,
kembali terkuak Pertamina gagal bayar
kepada konsorsium Bank Kanada senilai
US$ 65 juta. Sehingga pada 14 Maret
1975, Bank Indonesia mengeluarkan
dana US$ 650 juta sebagai kredit kepada
Pertamina untuk melunasi utang-utang
EDISI 39 / Tahun Iv / JANUARI 2014
Mahfud MD, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi
jangka pendeknya. Total utang jangka
pendek Pertamina ternyata sungguh
fantastis, mencapai US$ 10,5 miliar atau
30% Produk Domestik Bruto (PDB) saat
itu.
Pada 20 Mei 1975, Menteri
Pertambangan dan Energi Mohammad
Sadli mengumumkan secara rinci
kemana saja uang tersebut mengalir.
Abra kadabra... Sebagian dari proyek
yang didukung dana Pertamina
tersebut tidak ekonomis dan tidak ada
hubungannya dengan fungsi Pertamina.
Pengamat Militer dari Universitas
Australia Dr. Harold Crouch dalam
berbagai referensi bahkan mensinyalir
Pertamina jadi sapi perah para elit
birokrasi ketika itu. Contohnya,
sebagian besar keuntungan minyak
tidak diserahkan kepada pemerintah,
melainkan digunakan untuk
kepentingan Angkatan Bersenjata, untuk
bagian lain pemerintahan, diversifikasi
Pertamina, dan untuk keperluan pribadi
Ibnu Sutowo.
Ibnu Sutomo, dalam buku
biografinya berjudul “Saatnya Saya
Bercerita”, yang ditulis Ramadhan KH
mengakui bahwa Pertamina pernah
mengalami krisis pada tahun 1974.
Pun, ia mengamini bahwa uang dari
Pertamina dijadikan bisnis di luar
Pertamina.
Sutowo menuturkan, pada 1974
Pertamina membuat perjanjian baru
mengenai pinjaman (loan) jangka
panjang selama 20 tahun. Jumlah
pinjaman seluruhnya mencapai US$ 1,7
miliar. “Saya menganggap pinjaman itu
sudah safe (aman). Bahkan kami sudah
teken perjanjian itu. Dalam perjanjian
itu disebutkan bahwa kami mesti
mengambil uang itu sekaligus. Tetapi
kami belum ambil pinjaman itu karena
belum waktunya dan ada peraturanperaturan yang kami mesti bereskan
dulu,” kata Sutowo.
Saat itu, kata Sutowo, pihaknya
sudah harus mulai mengerjaan beberapa
proyek, antara lain Krakatau Steel, Otorita
Batam, dan lain-lain. Sedang uang
dari pemerintah itu tidak ada. “Maka
dia memutuskan mengambil hutang
jangka pendek (short term loan) untuk
menjembatani hutang jangka panjang
yang belum keluar, tanpa menempuh
prosedur yang terlalu njelimet. Proyekproyek pun jalan dengan memakai
hutang jangka pendek Pertamina.
“Eh, tiba-tiba saya mendapat kabar,
bahwa hutang jangka panjang yang
perjanjiannya sudah kami teken itu
tidak bisa cair. Maka kacaulah kami,” kata
Sutowo.
Apapun dalihnya, sejarah tak akan
berulang. Utang miliaran dolar Amerika
di era Ibnu Sutowo adalah cerita kelam
Pertamina. Cerita ini kini menjadi
konsumsi hampir seluruh bangsa
Indonesia.
Ketua Komisi VII DPR RI Bidang
Energi Sutan Bhatoegana menyatakan,
sudah bukan rahasia umum bila
Pertamina memang kerap menjadi sapi
23