Geo Energi edisi september indonesia 2013 | Seite 7
Opini
GEO ENERGI, EDISI SEPTEMBER 2013
Sabrun Jamil
Wakil Pemimpin Umum Geo Energi
P
olemik dan perseteruan di
sektor migas, tak kunjung
menemui titik temu, mulai
dari hulu sampai hilir. Ini
menggambarkan buruknya
pengelolaan sektor migas nasional. Di
sektor hulu, berbagai pihak menuding
pemerintah tidak transparan
dan cenderung pro asing dalam
melakukan tender-tender lapangan
migas. Permasalahan alokasi dan
pendistribusian BBM dan gas bumi
yang tidak merata, ikut mewarnai carut
marutnya pengelolaan migas di hilir.
Sungguh aneh tapi nyata memang,
menurut data pada 2011, share ekspor
Indonesia terhadap total ekspor dunia
mencapai 11%, atau menduduki
peringkat nomor 2 negara terbesar
dalam ekspor gas (BP, 2011). Padahal
share produksi gas Indonesia hanya
sebesar 1,6% dan cadangan gas
Indonesia hanya 2,6% dari cadangan
gas dunia (Data BP Migas, 2011).
Justru negara seperti Rusia yang
memegang 23,9% produksi gas dunia
hanya memegang 7% share ekspor
gas dunia. Bagimana bisa negara
yang produksi dan cadangan gasnya
jauh lebih, mengalokasikan gas
untuk diekspor dengan angka yang
sangat besar. Secara total, ekspor gas
Indonesia mencapai 44% dari total
produksi gas nasional, atau sejumlah
3433 MMSCFD.
Sekarang setidaknya ada dua
kendala besar yang dihadapi jika
pemerintah ingin meningkatkan
alokasi gas untuk domestik. Saat ini
Indonesia sudah terikat kontrak ekspor
dengan sejumlah pembeli dari 7
negara, dan terikat kontrak pembelian
gas antara tahun 2013 sampai 2029.
Sehingga cukup sulit untuk melakukan
proses renegosiasi kembali. Padahal,
kebutuhan domestik sekarang sudah
jauh meningkat. Kedua, adanya
EDISI 35 / Tahun III / SEPTEMBER 2013
Muka Buruk
Pengelolaan
Sektor Migas
perbedaan antara harga jual gas di
dalam negeri dan luar negeri. Ratarata harga jual gas dalam negeri saat
ini hanya sebesar US$ 6, sedangkan
rata-rata harga jual luar negeri
mencapai US$ 14. Gap harga yang
terlalu tinggi ini menyebabkan KKKS
memilih untuk menjual gas tersebut
ke luar negeri.
Untuk kendala yang pertama,
rasanya sulit untuk mencari
solusinya, regenosiasi ulang
sangat sulit dilakukan, kalaupun
bisa akan memakan waktu yang
lama. Mau bagaimana lagi, mau
tidak mau pemerintah harus
tetap menghormati kesepakatan
kontrak dengan para pembeli gas
dari pihak asing. Inilah akibatnya
kalau kebijakan diambil tanpa
adanya arah kebijakan energi
nasional yang jelas. Tidak ada analisa
terhadap kebutuhan energi domestik
jangka panjang. Kontrak dalam
jangka waktu yang lama dengan
para pembeli gas dari luar sudah
desepakati. Di sisi lain kebutuhan
energi nasional juga terus meningkat.
Hal-hal seperti ini tidak dipredeksi
oleh pemerintah, akibatnya muncul
permasalahan baru mengenai alokasi
gas untuk ekspor dan domestik.
Kendala kedua, mengenai
adanya gap antara harga gas bumi
di luar negeri dan di dalam negeri.
Pemerintah sebenarnya masih bisa
mengatasi permasalahan ini. Harga
gas di dalam negeri itu mahal, salah
satu faktor penyebabnya adalah
karena minimnya infrastruktur.
Solusinya, pemerintah harus
membangun infrastrukur untuk
mendistribusikan gas dari daerah
penghasil gas ke daerah dengan
kebutuhan energi yang tinggi.
Dengan demikian, harga untuk
mendistribusikan gas dapat ditekan,
sehingga harga gas juga akan lebih
murah.
Pemerintah tentu harus berkerja
keras untuk membenahi pengelolaan
sektor migas. Pemerintah harus
serius, membenahi pengeloaan
migas tidak bisa sepotong-sepotong,
harus menyeluruh dari hulu hingga
hilir. Lembga yang mengelola dan
orang-orangnya juga harus memiliki
kemampuan yang sesuai dengan
bidangnya. Bukan orang-orang yang
hanya bisa mengumbar janji manis
demi mencari popularitas. Akibatnya,
pengeloaan sektor migas, carut marut,
semuanya bermasalah, dari hulu
hingga hilir tidak ada yang beres.
Rakyat tentu butuh hasil nyata dari
kinerja pemerintah dalam mengelola
sektor migas, bukan data-data
manipulasi yang memberikan harapan
semu kepada rakyat.
• berita terkait DI halaman 22
7