Geo Energi edisi september indonesia 2013 | Page 21

geo energi/ sarwono untuk proses ambil alih ini, Hidayat enggan memberitahu. “Kami sedang dalam proses perundingan. Tidak etis jika memberitahukan angka itu ke media,” elak dia. Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian, Ansari Bukhari, mengatakan harus ada alternatif jika negosiasi tak kunjung tercapai sebelum Oktober 2013. “Harus ada exit strategy, tapi posisi kita. Kita berharap selesai atau belum nego-nya, proses serah terima bisa dilaksanakan,” kata Ansari di Kementerian Perindustrian, akhir Juli lalu. Menurut Ansari, mungkin diperlukan negosiasi lebih tinggi, tak hanya sekadar negosiasi biasa untuk mencapai kesepakatan. “Barangkali ada proses negosiasi lebih tinggi, atau mungkin ada cara lain yang bisa kita lakukan,” usul dia. Sikap lunak pemerintah untuk mengakuisisi seratus persen Inalum akhirnya sampai juga ke parlemen. Komisi VI DPR yang membidangi BUMN bahkan harus membentuk panitia kerja (panja) untuk pengambilalihan Inalum. Wakil Ketua Komisi VI DPR Aria Bima menegaskan, pemerintah sudah saatnya bertindak tegas terhadap pemerintah Jepang. “Kita butuh Inalum, itu intinya. Apapun ceritanya pemerintah harus menguasai Inalum. Mau dibawa ke manapun persoalan ini, Indonesia harus ladeni,” tukas Aria Bima kepada GEO ENERGI, Kamis (22/8/2013). Menurut politisi PDIP ini, penguasaan Inalum merupakan ujian bagi pemerintah apakah mampu melawan kepentingan asing yang selalu mengincar dan menguasai kekayaan alam Indonesia. Sebab, lanjut dia, negara yang memiliki dan mampu menguasai sumber daya alamnya sudah dipastikan akan memakmurkan rakyatnya. “Inalum adalah salah satu modal negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kalau ini ditunda apalagi sampai kalah, berarti Indonesia kembali gagal melawan kepentingan asing,” Aria mengingatkan. Dia lalu mencontohkan Venezuela sebagai negara yang memiliki dan mampu menguasai kekayaan sumber daya alamnya. EDISI 35 / Tahun III / SEPTEMBER 2013 mengoperasikan satu-satunya aluminium smelter di Asia Tenggara, di Asahan, Sumatera Utara, dan memanfaatkan tenaga air tanaman Asahan I dan Asahan II sebagai sumber energi utamanya. Selama ini perusahaan memberikan 40 persen produknya ke pasar domestik dan ekspor sisanya ke Jepang. Dahlan Iskan, Menteri BUMN Kuncinya, sambung dia, adalah ketegasan pemerintah. “Jangan hanya menaikkan pajak UKM saja yang berani. Atau jangan-jangan sebentar lagi tukang becak akan dikenai pajak. Padahal Inalum yang banyak menghasilkan devisa negara malah terkesan dibiarkan,” tukas dia. Inalum adalah usaha patungan pemerintah Indonesia dengan Jepang. Proyek ini didukung aset dan infrastruktur dasar, seperti pembangkit listrik tenaga air dan pabrik peleburan aluminium berkapasitas 230-240 ribu ton per tahun. Pemerintah Indonesia memiliki 41,13% saham Inalum, sedangkan Jepang memiliki 58,87% saham yang dikelola konsorsium NAA. Konsorsium NAA beranggotakan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) yang mewakili pemerintah Jepang 50% dan sisanya oleh 12 perusahaan swasta Jepang, termasuk Sumitomo Chemical Co Ltd, Sumitomo Shoji Kaisha Ltd, Mitsui Aluminium Co Ltd dan Mitsubishi Corporation. Berdasarkan perjanjian RI-Jepang pada 7 Juli 1975, kontrak kerjasama pengelolaan Inalum berakhir 31 Oktober 2013. Jepang diketahui akan meminta perpanjangan dengan menawarkan komitmen untuk meningkatkan kapasitas produksi aluminium Inalum menjadi 317.000 ton, naik dari saat ini 250.000 ton. Inalum, yang mulai beroperasi pada tahun 1983, saat ini Menjadi Perusahaan BUMN Tugas pemerintah tidak hanya berhenti pada upaya pengambilalihan Inalum dari pihak Jepang. Tantangan berikutnya adalah apakah Inalum akan berdiri sendiri atau dijadikan sebagai perusahaan BUMN. Namun untuk saat ini, pemerintah sepertinya lebih tertarik menjadikan Inalum menjadi perusahaan pelat merah. “Silakan aja, yang jelas kontraknya sudah selesai, diserahkan lagi ke Indonesia,” tukas Menteri BUMN Dahlan Iskan di Jakarta, belum lama ini. Menurut Dahlan, Inalum nantinya akan menjadi BUMN yang berdiri sendiri dengan menjalankan cash flow yang ada saat ini. Dia optimistis, mengembangkan BUMN Inalum tidak butuh modal besar. “BUMN murni dulu, karena kalau Antam sebagian sudah milik publik. BUMN murni tinggal jalankan cash flownya saja,” katanya. Dukungan serupa juga datang dari Kementerian Keuangan. Menurut Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, Hadiyanto, Inalum terbuka untuk dimiliki BUMN. “Saat ini, kami memiliki opsi untuk Inalum agar dikelola oleh BUMN. Tapi, ini masih dalam kajian efektif,” tandas Hadiyanto di Gedung Kementerian Perekonomian, Jakarta, beberapa waktu lalu. Dikatakan Hadiyanto, pemerintah menginginkan agar operasional Inalum tetap berjalan sesuai target. Namun, dengan adanya pengambilalihan Inalum oleh Indonesia, nantinya diharapkan tidak akan menimbulkan masalah apapun di pasar maupun jajaran manajemen. “Tapi, bila ingin dikelola BUMN dan diambil 100 persen oleh BUMN, hal ini masih memerlukan peraturan pemerintah,” ujarnya. G 21