Garuda Indonesia Colours Magazine February 2015 | Page 115
Travel | Bandung
113
© AHMAD FAIZAL YAHYA / Shutterstock
Saya berharap grafiti itu merupakan
sebuah peringatan kepada generasi
muda Bandung untuk tak melupakan
bangunan peninggalan sejarah.
Bandung has long been considered one
of the finest textile centres in all of Asia.
‘Think Old’ – enigmatic street art on
Bandung's hip Jalan Braga.
Bagi mereka yang belum
mengenal Bandung, Jawa
Barat, pastinya tak menyadari
potensi kota ini untuk menjadi
destinasi wisata kedua di
Indonesia (setelah Bali).
Mark Eveleigh pun mencoba
menjelajahi kota yang dahulu
dikenal dengan sebutan
“Paris of Java” ini.
“This City Would Eat You Alive” kata sebuah
grafiti di jalan yang pada era Hindia Belanda
dahulu dikenal sebagai jalan paling berkelas.
Baru tiga hari berada di kota ini, saya merasa
seolah sayalah yang telah “memakan” kota ini.
Berhenti makan adalah hal yang paling
sulit dilakukan di sini. Bagaimana tidak,
hanya selemparan batu dari tempat
saya berdiri membaca papan tanda jalan,
sudah ada setidaknya tiga toko roti untuk
bernostalgia. Dua dari tiga roti tersebut
sudah ada sejak Jalan Braga menjadi jalan
kebanggaan di masa kolonial Belanda.
Istri sang gubernur di masa itu biasa
membeli kue-kue di Toko Roti Sumber
Hidangan, dan hampir seabad kemudian,
kue-kue tersebut masih menyandang
nama-nama Belanda-nya seperti: Kaasstengel,
Bitterkoek, Pindakaas, Palmsuiker...
Sementara di teras Toko Roti Maison
Bogerijen (kini bernama Braga Permai),
para tuan tanah di era kolonial Belanda
biasa duduk sambil menyesap teh yang
didatangkan dari perkebunan teh milik
mereka. Kata “apartheid” memang sudah
tak terdengar lebih dari lima puluh tahun,
namun di zaman dahulu apartheid
pernah tegas diberlakukan di Bandung.
Itu artinya, orang Indonesia yang bisa
menginjakkan kaki di kawasan ini hanyalah
mereka yang bertugas sebagai petugas
kebersihan dan pelayan. Di malam hari,
mereka harus pulang ke rumah mereka
di bagian selatan. Kini segalanya banyak
berubah. Braga Permai memang tetap
ramai oleh pengunjung, tetapi Toko Roti
Suga Rush (toko roti baru di seberangnya)
berhasil menarik pengunjung muda,
yang dalam bahasa slang Bandung
biasa disebut dengan nama “anak gaul”.
Ada grafiti lainnya yang saya temukan di
Jalan Braga ini. Salah satu grafiti tersebut
ditulis dalam bahasa Inggris, “Think Old”.
Tak ada penjelasan mengenai pesan apa yang
ingin disampaikan oleh seniman pembuatnya
dan kata-kata itu seolah menggantung di
dinding menanti dipetik persis seperti buah
yang menunggu untuk matang. Orang yang
membaca kata-kata ini bebas untuk
menafsirkannya dengan apa saja.
Tetapi saya berharap grafiti itu merupakan
sebuah peringatan kepada generasi muda
Bandung untuk tak melupakan bangunan
peninggalan sejarah. Sebagai seorang arsitek,
Wali Kota Ridwan Kamil yang menyebut
dirinya “penjaga Bandung” tampaknya
berusaha untuk menghijaukan kembali
taman-taman kota dan merenovasi bangunan
bersejarah di kota ini. Jalan Braga kini
di-paving ulang dan galeri-galeri tua serta
Koffiehuise diplester ulang, dengan warna
putih yang bahkan lebih putih dari kue
pernikahan yang ada di Braga Permai.
“Terkadang cara tradisional justru yang
paling baik,” kata Widya Pratama di tengah
kerasnya deru suara mesin penggiling kopi
berbahan bakar kayu di pabrik kecilnya dekat
Pasar Baru. “Teknologi maju, sering kali
memberikan kesempatan untuk curang
dan membuat pekerjaan selesai lebih cepat.