di sini bukan berarti mencari
keuntungan tetapi kemandirian
dalam arti independen, netral
dan bertanggungjawab terkait isi
siaran, serta mengembangkan
siaran yang tidak dapat
dipengaruhi oleh siapa pun.
Hanya, ia tidak sepakat
dengan kedudukan Stasiun
Penyiaran yang ada di ibukota
provinsi sebagai perwakilan.
‘’Kami mengusulkan keduduk
an stasiun di ibukota provinsi
atau pun di ibukota kabupaten/
kota adalah sebagai stasiun
penyiar n yang merupakan unit
a
pelaksana teknis LP RTRI, yang
melaksanakan tugas dan fungsi
RTRI di daerah –disesuaikan
deng n kebutuhan masyarakat,’’
a
katanya.
Ia mengusulkan, nama stasiun
penyiaran itu tetap menggunakan
nama RRI atau TVRI, sesuai
dengan karakteristiknya. ‘’Di
samping itu jika digunakan sebutan
RTRI perwakilan, tidak me nutup
kemungkinan dalam satu daerah
hanya ada satu RRI atau TVRI
saja,’’ katanya. (bik)
Permasalahan TVRI dan RRI
1.
2.
3.
4.
5.
22 |
Belum sepenuhnya mampu
memenuhi kebutuhan
masyarakat terhadap
penyiaran publik.
Kepastian pendanaan LPP TVRI
dan RRI dalam APBN, yang
dapat memberikan dukungan
secara penuh pada seluruh
kegiatan penyiaran publik.
Ketidakjelasan pengelolaan
aset TVRI dan RRI.
Manajemen, tugas dan fungsi
Dewas LPP RRI dan TVRI belum
sepenuhnya mampu mewakili
kepentingan publik.
SDM yang tidak ditindaklanjuti
dengan peraturan mengenai
kepegawaian di lingkungan LPP
TVRI dan RRI, sehingga sudah
15 tahun lebih belum dapat
melakukan recruitment SDM
kreatif.
GARDU ASPIRASI • OKTOBER 2013
Kedaulatan Frekuensi
di Perbatasan
Foto bersama saat acara dengar pendapat Komisi I DPR RI bersama RRI Pontianak, RRI Sintang, RRI Entikong dan TVRI Kalimantan
Barat di Pontianak (5/9). FOTO: DOK DPR
RUU RTRI harus memberikan ruang
ruang bagi LPP lokal untuk berjaringan
dengan RTRI, baik dari aspek Alokasi
Frekuensi maupun kerjasama program siaran.
‘’Ini penting untuk memberikan daerah
sebagai perpanjangan tangan dari pusat dalam
penyampaian informasi,’’ ujar Ketua KPID
Kalbar Faisal Riza ST ketika menerima kunker
Komisi I DPR RI di kantor RRI Pontianak,
Kamis (5/9).
Kunker Komisi I DPR RI itu dipimpin
Drs Ramadhan Pohan MIS. Ikut di dalam
delegasi anggota DPR lainnya, seperti Dr Hj
Andjeng Ratna Suminar SH. MH, H Anwar
Yunus SH (FPD), H Mustafa Kamal SS
(FPKS), serta Sayed Mustafa Usab SE Msi
(FPAN).
Dalam kesempatan itu KPID Kalbar
juga memberikan masukan, UU Penyiaran
mengatur bahwa seluruh lembaga penyiaran
harus tunduk pada Pedoman Perilaku
Penyiaran, bukan pada Standar Program
Siaran sebagaimana disebutkan pada pasal
47 UU tersebut.
Di hal lain, Faisal mempertanyakan
reduksi kewenangan KPID dalam
memberikan sanksi administratif. Dalam
UU Penyiaran jelas disebutkan, adanya tiga
bentuk sanksi. Namun dalam RUU ini hanya
dalam bentuk sanksi administrative dan itupun
terbatas dalam beberapa bentuk saja.
Keberadaan RUU RTRI, kata dia, adalah
keniscayaan untuk menjawab persoalan
kedaulatan frekuensi dan pentingnya
memperkukuh integritas nasional.
Di Kalbar yang berbatasan dengan
Malaysia, frekuensi penyiaran acap kali
diserang Malaysia sebagai negara tetangga
yang berbatasan langsung. Di wilayah ini,
radio Malaysia yang tertangkap siarannya ada
18 stasiun yang masuk dalam lima kabupaten
perbatasan. ‘’Belum lagi televisinya, ada
tiga stasiun yang menembus siarannya ke
Indonesia (TV1, TV2 dan TV3),’’ katanya.
Di lain hal, kata dia, keberadaan RUU
RTRI seyogyanya adalah lex specialis dari UU
Penyiaran yang hingga kini proses revisinya
belum final. ‘’Dengan kata lain, pastikan atau
selesaikan lebih dulu revisi itu,’’ katanya.
(bik)