GARDU ASPIRASI (GARASI) EDISI 45 / OKTOBER 2013 | Page 22

di sini bukan berarti mencari keuntungan tetapi kemandirian dalam arti independen, netral dan bertanggungjawab terkait isi siaran, serta mengembangkan siaran yang tidak dapat dipengaruhi oleh siapa pun. Hanya, ia tidak sepakat dengan kedudukan Stasiun Penyiaran yang ada di ibukota provinsi sebagai perwakilan. ‘’Kami mengusulkan keduduk­ an stasiun di ibukota provinsi atau pun di ibukota kabupaten/ kota adalah sebagai stasiun penyiar­ n yang merupakan unit a pelaksana teknis LP RTRI, yang melaksanakan tugas dan fungsi RTRI di daerah –disesuaikan deng­ n kebutuhan masyarakat,’’ a katanya. Ia mengusulkan, nama stasiun penyiaran itu tetap menggunakan nama RRI atau TVRI, sesuai dengan karakteristiknya. ‘’Di samping itu jika digunakan sebutan RTRI perwakilan, tidak me nutup kemungkinan dalam satu daerah hanya ada satu RRI atau TVRI saja,’’ katanya. (bik) Permasalahan TVRI dan RRI 1. 2. 3. 4. 5. 22 | Belum sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap penyiaran publik. Kepastian pendanaan LPP TVRI dan RRI dalam APBN, yang dapat memberikan dukungan secara penuh pada seluruh kegiatan penyiaran publik. Ketidakjelasan pengelolaan aset TVRI dan RRI. Manajemen, tugas dan fungsi Dewas LPP RRI dan TVRI belum sepenuhnya mampu mewakili kepentingan publik. SDM yang tidak ditindaklanjuti dengan peraturan mengenai kepegawaian di lingkungan LPP TVRI dan RRI, sehingga sudah 15 tahun lebih belum dapat melakukan recruitment SDM kreatif. GARDU ASPIRASI • OKTOBER 2013 Kedaulatan Frekuensi di Perbatasan Foto bersama saat acara dengar pendapat Komisi I DPR RI bersama RRI Pontianak, RRI Sintang, RRI Entikong dan TVRI Kalimantan Barat di Pontianak (5/9). FOTO: DOK DPR RUU RTRI harus memberikan ruang ruang bagi LPP lokal untuk berjaringan dengan RTRI, baik dari aspek Alokasi Frekuensi maupun kerjasama program siaran. ‘’Ini penting untuk memberikan daerah sebagai perpanjangan tangan dari pusat dalam penyampaian informasi,’’ ujar Ketua KPID Kalbar Faisal Riza ST ketika menerima kunker Komisi I DPR RI di kantor RRI Pontianak, Kamis (5/9). Kunker Komisi I DPR RI itu dipimpin Drs Ramadhan Pohan MIS. Ikut di dalam delegasi anggota DPR lainnya, seperti Dr Hj Andjeng Ratna Suminar SH. MH, H Anwar Yunus SH (FPD), H Mustafa Kamal SS (FPKS), serta Sayed Mustafa Usab SE Msi (FPAN). Dalam kesempatan itu KPID Kalbar juga memberikan masukan, UU Penyiaran mengatur bahwa seluruh lembaga penyiaran harus tunduk pada Pedoman Perilaku Penyiaran, bukan pada Standar Program Siaran sebagaimana disebutkan pada pasal 47 UU tersebut. Di hal lain, Faisal mempertanyakan reduksi kewenangan KPID dalam memberikan sanksi administratif. Dalam UU Penyiaran jelas disebutkan, adanya tiga bentuk sanksi. Namun dalam RUU ini hanya dalam bentuk sanksi administrative dan itupun terbatas dalam beberapa bentuk saja. Keberadaan RUU RTRI, kata dia, adalah keniscayaan untuk menjawab persoalan kedaulatan frekuensi dan pentingnya memperkukuh integritas nasional. Di Kalbar yang berbatasan dengan Malaysia, frekuensi penyiaran acap kali diserang Malaysia sebagai negara tetangga yang berbatasan langsung. Di wilayah ini, radio Malaysia yang tertangkap siarannya ada 18 stasiun yang masuk dalam lima kabupaten perbatasan. ‘’Belum lagi televisinya, ada tiga stasiun yang menembus siarannya ke Indonesia (TV1, TV2 dan TV3),’’ katanya. Di lain hal, kata dia, keberadaan RUU RTRI seyogyanya adalah lex specialis dari UU Penyiaran yang hingga kini proses revisinya belum final. ‘’Dengan kata lain, pastikan atau selesaikan lebih dulu revisi itu,’’ katanya. (bik)