korupsi yang selama ini menggunakan sistem satu pintu. KPK menamakan radio itu ‘KanalKPK’. Selanjutnya, setiap hari, radio ‘KanalKPK’ melakukan siaran live streaming selama empat jam dari pukul 10.00 hingga 14.00 WIB di www.kpk.go.id/streaming. Kanal itu diklaim akan efektif bersiaran 24 jam mulai Desember mendatang dan dirasa mampu menjangkau hingga ke belahan negara lain. Nantinya, masyarakat bebas melaporkan korupsi di sini. ‘’Laporkan pada semua, beritakan ke media massa agar semua terbongkar,’’ katanya. Bagaimana dengan payung hukumnya? Menurut Ramadhan, memang sudah ada UU UU Penyiaran yaitu UU no 32 Tahun 2002. Tetapi, masih direvisi. Dan, sejauh ini penyiaran radio Internet atau streaming masih belum ada regulasi khusus sehingga konten atau isi yang ada di setiap radio harus kita filter sendiri. Tetapi, kata Menkominfo Tifatul Sembiring yang juga menjadi pembicara dalam diskusi itu, pemerintah akan mendukung penuh. Pemerintah akan merevisi UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. ‘’Revisi ini untuk memperkuat kewenangan KPI. Setelah reses anggota DPR akan dibahas, ‘’ kata Tifatul. Dengan adanya perubahan UU Penyiaran ataupun UU yang nantinya berdiri sendiri dapat mengakomodir secara detail tentang keberadaan radio publik dan radio komunitas. Saat ini radio komunitas daya jangkau siarannya dibatasi hanya di 107-108 MHz. ‘’Nantinya kalau digital sudah beroperasi, sudah tidak bisa begitu lagi. Dan, pada abad digital ini, masyarakat akan semakin cerdas,’’ kata Tifatul. Sebagai per andingan, b gelombang digital satu kanal bisa 40 chanel, sedangkan analog hanya 12. Namun, sejumlah kalangan aktivis penyiaran menilai regulasi penyiaran UU Nomor 32 tentang Penyiaran, peraturan pemerintah, peraturan menteri dan atau peraturan yang lain belum cukup memberikan perlindungan terhadap publik. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan mendasar, agar dunia penyiaran di Indonesia lebih sehat. Sementara itu, Ramadhan menekankan, DPR RI, dalam hal ini, Komisi I telah melaku kan penguatan dari sisi kepastian hukum dengan mengusulkan Revisi/Perubahan terhadap UU Penyiaran masuk dalam
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2009-2014 sebagai usul inisiatif DPR RI. Keputusan DPR untuk melakukan revisi terhadap RUU Penyiaran dilandasi oleh beberapa pertimbangan, antara lain. Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) terus berkembang termasuk di bidang tek o n logi penyiaran, antara lain digitalisasi penyi r n aa dan hal ini belum diatur dalam UU Penyiaran. Beberapa hal penting dalam UU Penyiaran, tidak diatur secara jelas, detil dan tegas, antara lain: Pelaksanaa n Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) bagi Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) dalam bentuk keberadaan stasiun LPS di setiap daerah. Tujuan SSJ adalah menumbuhkan roda ekonomi di daerah sekaligus adanya diversity of content. Hanya saja, pada UU Penyiaran disebutkan “dapat melakukan siaran jaringan”. Penggunaan kata “dapat” yang mengandung arti tidak harus dilakukan.
‘’Konsekuensinya, hingga kini LPS masih melakukan siaran secara nasional yang dipancarkan dari Jakarta mengingat SSJ memerlukan keberadaan stasiun di daerah yang berimplikasi pada biaya. Untuk itu, perlu adanya penegasan kembali mengenai SSJ dalam RUU Penyiaran,’’ katanya. Sejalan dengan itu, kata Ramadhan, Komisi I memandang penting fungsi media massa termasuk dalam pemberantasan korupsi sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Melalui Perubahan UU Penyiaran, menuut Ramadhan, Komisi I berkomitmen r melakukan penguatan terhadap peran KPI sebagai mana diatur dalam RUU Penyiaran, pasal 11. ’’Komisi I mendorong KPI Pusat untuk menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik, termasuk memassalkan upaya pemberantasan korupsi,’’ katanya. (bik)
Radio Streaming ’’KanalKPK’’
GARASI • SEPTEMBER 2013
5