DEFENCE
bermain tenis di lapangan tenis Rindam
XVII/Cendrawasih Papua yang terletak di Ifar
Gunung, tidak jauh dari Bandara Sentani. Di
kompleks tersebut, terdapat peninggalan
Jenderal Douglas MacArthur pada masa
Perang Dunia II, ketika di tempat itu ia
mendirikan General Headquarters Southwest
Pacific Area dalam rangka mempersiapkan
invasi ke Filipina, musim panas tahun 1944.
Alasan MacArthur memilih tempat itu adalah
bahwa ia “dapat melihat ke semua arah”, baik
daratan maupun perairan.
memanjat pohon. Pengamatan dari pucuk
pohon akan menghasilkan cakupan seluas
beberapa puluh atau ratus meter (bergantung
pada kepadatan objek sekitar dan kondisi
cuaca: hujan, kabut, dan sebagainya), cukup
untuk melihat musuh yang bergerak
mendekat dan menyiapkan sergapan bagi
mereka. Setelah pohon dianggap tidak cukup
tinggi karena musuh mengambil rute lain
yang tidak terlihat dari atas pohon, mereka
berlari ke bukit, yang menghasilkan cakupan
yang jauh lebih luas dan arah yang lebih
bervariasi (seperti contoh MacArthur di atas).
DIMENSI VERTIKAL DALAM PERANG
Disadari atau tidak, pemicu utama
perkembangan teknologi perang atau sistem
senjata pada dasarnya adalah persaingan
dalam memanfaatkan dimensi vertikal.
Meskipun tidak berarti bahwa dimensi
horisontal dan lateral tidak mengalami
kemajuan, namun kita dapat menyaksikan
bahwa dimensi vertikal merupakan dimensi
yang terus menerus berevolusi hingga kini.
Parameter atau besaran fisik dimensidimensi yang saya maksud di sini adalah
jarak (distance), dalam hal ini jarak ke atas
atau yang kita kenal sebagai “ketinggian”.
Saya hanya berbicara tentang jarak, karena
saya melihat dari “jarak” inilah semuanya
berawal: cakupan, efektifitas, biaya, dan lainlain yang pada gilirannya akan menghasilkan
kesimpulan seberapa besar peluang suatu
negara atau kelompok untuk memenangkan
perang.
Untuk mudah memahaminya, mari kembali
pada contoh perang suku primitif di atas, di
mana pemanfaatan dimensi vertikal awalnya
dilakukan dengan cara yang amat sederhana:
Ketika bukit dipandang tidak cukup tinggi
lagi, orang beralih ke gunung. Sampai dengan
PD I, gunung adalah simbol penguasaan
ketinggian. Hal ini mengingat bahwa
meskipun pada akhir 1903 Wright
bersaudara telah menciptakan pesawat
terbang terkendali, tidak ada satu negarapun
yang siap dengan moda udara sebagai
peralatan tempur. Itulah sebabnya di Papua
tentara Jepang membangun landasanlandasan pacu yang “melekat” dengan
gunung, yaitu karena mereka memiliki
penguasaan atas ketinggian yang dapat
mencegah siapapun yang ingin menyerang
pangkalan udara mereka1.
Pada PD II, eksplorasi dimensi vertikal
mencapai sebuah tahapan yang penting.
Pihak-pihak yang berperang berusaha untuk
meraih ketinggian untuk menghancurkan
musuh mereka di bawah. Pada titik tertentu,
eksplorasi dimensi vertikal yang sama
kuatnya (Axis Powers atau “kekuatan poros”
pimpinan Jerman di satu pihak dan Sekutu
pimpinan Amerika di pihak lain sama-sama
punya kekuatan udara yang tangguh)
membuat pertempuran menjadi lateral.
1 Papua adalah contoh yang bagus karena kompleksitas dan intensitas PD II di Pasifik berpusat di sana.
Papua diperebutkan oleh Jepang dan Sekutu dalam upaya mereka untuk saling menghancurkan kekuatan
musuhnya, karena letak Papua yang berada di antara dua kawasan kepentingan: Australia (sasaran Jepang
yang harus dipertahankan oleh Sekutu) dan Samudera Pasifik (yang merupakan rute armada Jepang dalam
menjangkau Australia).
EQUATORSPACE.COM
EQUATORSPACE.COM
35
35