EQUATORSPACE #01 | Page 36

DEFENCE bermain tenis di lapangan tenis Rindam XVII/Cendrawasih Papua yang terletak di Ifar Gunung, tidak jauh dari Bandara Sentani. Di kompleks tersebut, terdapat peninggalan Jenderal Douglas MacArthur pada masa Perang Dunia II, ketika di tempat itu ia mendirikan General Headquarters Southwest Pacific Area dalam rangka mempersiapkan invasi ke Filipina, musim panas tahun 1944. Alasan MacArthur memilih tempat itu adalah bahwa ia “dapat melihat ke semua arah”, baik daratan maupun perairan. memanjat pohon. Pengamatan dari pucuk pohon akan menghasilkan cakupan seluas beberapa puluh atau ratus meter (bergantung pada kepadatan objek sekitar dan kondisi cuaca: hujan, kabut, dan sebagainya), cukup untuk melihat musuh yang bergerak mendekat dan menyiapkan sergapan bagi mereka. Setelah pohon dianggap tidak cukup tinggi karena musuh mengambil rute lain yang tidak terlihat dari atas pohon, mereka berlari ke bukit, yang menghasilkan cakupan yang jauh lebih luas dan arah yang lebih bervariasi (seperti contoh MacArthur di atas). DIMENSI VERTIKAL DALAM PERANG Disadari atau tidak, pemicu utama perkembangan teknologi perang atau sistem senjata pada dasarnya adalah persaingan dalam memanfaatkan dimensi vertikal. Meskipun tidak berarti bahwa dimensi horisontal dan lateral tidak mengalami kemajuan, namun kita dapat menyaksikan bahwa dimensi vertikal merupakan dimensi yang terus menerus berevolusi hingga kini. Parameter atau besaran fisik dimensidimensi yang saya maksud di sini adalah jarak (distance), dalam hal ini jarak ke atas atau yang kita kenal sebagai “ketinggian”. Saya hanya berbicara tentang jarak, karena saya melihat dari “jarak” inilah semuanya berawal: cakupan, efektifitas, biaya, dan lainlain yang pada gilirannya akan menghasilkan kesimpulan seberapa besar peluang suatu negara atau kelompok untuk memenangkan perang. Untuk mudah memahaminya, mari kembali pada contoh perang suku primitif di atas, di mana pemanfaatan dimensi vertikal awalnya dilakukan dengan cara yang amat sederhana: Ketika bukit dipandang tidak cukup tinggi lagi, orang beralih ke gunung. Sampai dengan PD I, gunung adalah simbol penguasaan ketinggian. Hal ini mengingat bahwa meskipun pada akhir 1903 Wright bersaudara telah menciptakan pesawat terbang terkendali, tidak ada satu negarapun yang siap dengan moda udara sebagai peralatan tempur. Itulah sebabnya di Papua tentara Jepang membangun landasanlandasan pacu yang “melekat” dengan gunung, yaitu karena mereka memiliki penguasaan atas ketinggian yang dapat mencegah siapapun yang ingin menyerang pangkalan udara mereka1. Pada PD II, eksplorasi dimensi vertikal mencapai sebuah tahapan yang penting. Pihak-pihak yang berperang berusaha untuk meraih ketinggian untuk menghancurkan musuh mereka di bawah. Pada titik tertentu, eksplorasi dimensi vertikal yang sama kuatnya (Axis Powers atau “kekuatan poros” pimpinan Jerman di satu pihak dan Sekutu pimpinan Amerika di pihak lain sama-sama punya kekuatan udara yang tangguh) membuat pertempuran menjadi lateral. 1 Papua adalah contoh yang bagus karena kompleksitas dan intensitas PD II di Pasifik berpusat di sana. Papua diperebutkan oleh Jepang dan Sekutu dalam upaya mereka untuk saling menghancurkan kekuatan musuhnya, karena letak Papua yang berada di antara dua kawasan kepentingan: Australia (sasaran Jepang yang harus dipertahankan oleh Sekutu) dan Samudera Pasifik (yang merupakan rute armada Jepang dalam menjangkau Australia). EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM 35 35