opini
48
Sisi Lain
Budaya Maritim
Oleh: Soen’an Hadi Poernomo
Setiap tata kehidupan memiliki sisi positif dan negatif.
Gaya hidup demokratis memang memberikan hak
setiap individu untuk mengungkapkan, mewujudkan,
dan melaksanakan apapun yang dikehendaki. Namun
apabila tidak ada pengendalian, bisa memunculkan
kondisi anarkis yang merugikan pihak lain. Liberalisasi
yang lebih bebas, bagi yang memiliki kemampuan
lebih, akan memperoleh kemewahan melangit seakan
tak terbatas, dengan menyisakan warna gelap kelompok
masyarakat lainnya yang kurang memiliki daya hidup.
Sistem sosialis nampaknya memberikan kondisi
yang sama rasa, sama rata, namun diiringi dengan
pembatasan terhadap peluang perkembangan potensi
seseorang yang sebetulnya bisa meraih keuntungan
jauh lebih besar. Otoritarian, bisa saja dianggap dapat
mewujudkan stabilitas, namun kediaman dalam
keteraturan yang terbentuk adalah bersifat semu, dan
mematikan demokrasi.
B
erbicara mengenai tata kehidupan di laut, memerlukan
ketabahan, keuletan, serta kekuatan fisik yang lebih.
Meninggalkan habitat “normal” di darat bersama
keluarga, teman dan tetangga. Bisa dengan hitungan hari,
bulan, bahkan boleh jadi dalam bilangan tahun. Gelombang
yang tinggi, dengan lingkungan sekeliling kapal berupa laut
yang dalam dan jauh dari daratan, semuanya bisa menjadi
kekurangnyamanan fisik dan psikologis. Kondisi yang
demikian, sulit untuk dihadapi oleh pribadi yang berfisik
lemah dan bermental cengeng, tanpa ketabahan atau keuletan.
Kehidupan di laut yang luar biasa tersebut, tidak mungkin
diterapkan dengan budaya demokratis. Bisa jadi sewaktuwaktu anak buah kapal akan ber-voting untuk kembali ke
pelabuhan terdekat, sebelum mencapai tujuan misi pelayaran
atau penangkapan ikan. Kultur yang paling tepat tentu
hierarkis disiplin ketat, dipimpin oleh nakhoda, dengan
turunan ke bawah melalui rentetan perwira kapal di bawahnya.
Untuk keseimbangan keharusan penerapan gaya hidup
otoritarian tersebut, telah terbukti baik, tatkala digabung
dengan budaya kesatuan kekeluargaan pada kapal phinisi,
atau jiwa korsa kemiliteran pada kapal perang ataupun kapal
niaga. Oleh karenanya, pendidikan pelaut modern senantiasa
dalam suasana pembinaan karakter kedisiplinan, hierarkis
kemiliteran.
Namun di sisi lain, kehidupan maritim yang eksklusif dan
penuh tantangan tersebut, apabila tidak terkendali mudah
terjebak pada budaya yang bernuansa “perbudakan”. Apalagi
bila digandengkan dengan bisnis human trafficking, atau
“perdagangan manusia”, maka terjadilah ekses sebagaimana
yang beberapa waktu lalu terungkap di kalangan kapal
penangkapan ikan Thailand yang beroperasi di kawasan Benjina.
Kultur di kapal ikan Thailand terkenal dengan pola yang sangat
keras dari para Tekong, atau pemilik kapal, terhadap para
ABK atau anak buah
kapal. Hukuman dan
penyiksaan banyak
terjadi,
bahkan
kadangkala terjadi
pembunuhan. Buruh
nelayannya banyak
juga yang berasal dari
pelarian pengungsi
Myanmar, Laos atau
Kamboja. Dan tidak
sedikit ABK yang
berlatar
belakang
mantan nara pidana.
Karena
mereka
merasa sulit diterima
dalam
kehidupan