Cakrawala Edisi 426 | Page 48

opini 48 Sisi Lain Budaya Maritim Oleh: Soen’an Hadi Poernomo Setiap tata kehidupan memiliki sisi positif dan negatif. Gaya hidup demokratis memang memberikan hak setiap individu untuk mengungkapkan, mewujudkan, dan melaksanakan apapun yang dikehendaki. Namun apabila tidak ada pengendalian, bisa memunculkan kondisi anarkis yang merugikan pihak lain. Liberalisasi yang lebih bebas, bagi yang memiliki kemampuan lebih, akan memperoleh kemewahan melangit seakan tak terbatas, dengan menyisakan warna gelap kelompok masyarakat lainnya yang kurang memiliki daya hidup. Sistem sosialis nampaknya memberikan kondisi yang sama rasa, sama rata, namun diiringi dengan pembatasan terhadap peluang perkembangan potensi seseorang yang sebetulnya bisa meraih keuntungan jauh lebih besar. Otoritarian, bisa saja dianggap dapat mewujudkan stabilitas, namun kediaman dalam keteraturan yang terbentuk adalah bersifat semu, dan mematikan demokrasi. B erbicara mengenai tata kehidupan di laut, memerlukan ketabahan, keuletan, serta kekuatan fisik yang lebih. Meninggalkan habitat “normal” di darat bersama keluarga, teman dan tetangga. Bisa dengan hitungan hari, bulan, bahkan boleh jadi dalam bilangan tahun. Gelombang yang tinggi, dengan lingkungan sekeliling kapal berupa laut yang dalam dan jauh dari daratan, semuanya bisa menjadi kekurangnyamanan fisik dan psikologis. Kondisi yang demikian, sulit untuk dihadapi oleh pribadi yang berfisik lemah dan bermental cengeng, tanpa ketabahan atau keuletan. Kehidupan di laut yang luar biasa tersebut, tidak mungkin diterapkan dengan budaya demokratis. Bisa jadi sewaktuwaktu anak buah kapal akan ber-voting untuk kembali ke pelabuhan terdekat, sebelum mencapai tujuan misi pelayaran atau penangkapan ikan. Kultur yang paling tepat tentu hierarkis disiplin ketat, dipimpin oleh nakhoda, dengan turunan ke bawah melalui rentetan perwira kapal di bawahnya. Untuk keseimbangan keharusan penerapan gaya hidup otoritarian tersebut, telah terbukti baik, tatkala digabung dengan budaya kesatuan kekeluargaan pada kapal phinisi, atau jiwa korsa kemiliteran pada kapal perang ataupun kapal niaga. Oleh karenanya, pendidikan pelaut modern senantiasa dalam suasana pembinaan karakter kedisiplinan, hierarkis kemiliteran. Namun di sisi lain, kehidupan maritim yang eksklusif dan penuh tantangan tersebut, apabila tidak terkendali mudah terjebak pada budaya yang bernuansa “perbudakan”. Apalagi bila digandengkan dengan bisnis human trafficking, atau “perdagangan manusia”, maka terjadilah ekses sebagaimana yang beberapa waktu lalu terungkap di kalangan kapal penangkapan ikan Thailand yang beroperasi di kawasan Benjina. Kultur di kapal ikan Thailand terkenal dengan pola yang sangat keras dari para Tekong, atau pemilik kapal, terhadap para ABK atau anak buah kapal. Hukuman dan penyiksaan banyak terjadi, bahkan kadangkala terjadi pembunuhan. Buruh nelayannya banyak juga yang berasal dari pelarian pengungsi Myanmar, Laos atau Kamboja. Dan tidak sedikit ABK yang berlatar belakang mantan nara pidana. Karena mereka merasa sulit diterima dalam kehidupan