Cakrawala Edisi 423 Tahun 2014 | Page 19

Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang merupakan pernyataan K e s a t u a n K e j i w a a n Indonesia; (2) Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai pernyataan kemerdekaan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja NKRI; dan (3) Delarasi Djuanda 13 Desember 1957 sebagai pernyataan Kesatuan Kewilayahan Indonesia (darat, laut dan udara). Pemerintah Indonesia melalui Keppres No.126/2001 telah mengukuhkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara. Ini akan menjadi sebuah hari yang senantiasa mengingatkan kepada generasi penerus bangsa, bahwa habitat alamiah kita adalah negara kepulauan yang akan menjadi tumpuan masa depan dan oleh karenanya harus dipertahankan keutuhannya. Dari Deklarasi Djuanda ke UNCLOS’82 Laut, karena sifatnya yang terbuka, pernah dianggap sebagai warisan bersama umat manusia, sehingga hampir setiap negara merasa berhak untuk melintasi dan memanfaatkan lautan bagi kepentingannya. Asumsi tersebut tentu menjadi sumber konflik potensial sehingga muncul perangkat hukum laut internasional yang mengatur antara hak dan kewajiban setiap negara berkaitan dengan perlintasan melalui laut, karena berkaitan juga dengan dimensi keamanan dan kedaulatan sebuah negara. Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordonantie 1939 sebagai hukum laut internasional yang berlaku pada saat itu, oleh Pemerintah Indonesia dianggap mengandung titik kelemahan mendasar karena tidak mempertimbangkan ancaman kedaulatan terhadap sebuah negara yang memiliki konstelasi geografisnya berupa kepulauan seperti halnya Indonesia. Maka demi menjamin perlindungan dan kesatuan wilayah Nusantara, Indonesia berani mengambil langkah sangat beresiko dengan mengumumkan kepada dunia Deklarasi Djuanda. Pada tahun 1960, Pemerintah Indonesia menuangkan Deklarasi Djuanda ke dalam Undang-Undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Secara geo-politik, Deklarasi Djuanda memiliki arti yang sangat strategis bagi masa depan kesatuan, persatuan, pertahanan, kedaulatan, dan kemajuan Indonesia, sehingga layak menjadi pilar utama ketiga dari bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan secara geoekonomi Deklarasi Djuanda juga strategis bagi kejayaan dan kemakmuran Indonesia, karena perairan Indonesia menyimpan begitu banyak kekayaan sumber daya alam, baik yang terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi), maupun sumber daya alam yang tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, emas, perak, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya), serta sumber energi kelautan seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), juga jasa-jasa lingkungan kelautan seperti pariwisata bahari dan transportasi laut. Oleh karena itu, meskipun dunia menolak Deklarasi Djuanda, Indonesia tetap konsisten memperjuangkan prinsipnya. Indonesia memperjuangkan masalah ini secara diplomasi, baik di forum negara-negara berkembang, negaranegara Asia Afrika, forum Non-Blok, maupun di berbagai forum akademik ilmiah internasional. Di antara banyak pejuang diplomasi yang dengan gigih memperjuangkan hak Indonesia di dunia internasional, terdapat dua tokoh bangsa yang tidak akan terlupakan yakni Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja dan Prof. Dr. Hasyim Djalal. Perjuangan Indonesia juga dilakukan melalui jalur akademis antara lain dilakukan melalui pertemuan tahunan yang diadakan oleh Law of the Sea Institute University Rhode Island, di Kingston Amerika Serikat. Di kalangan akademisi, konsepsi negara kepulauan menemukan seorang pendukung yang sangat kuat dan berpengaruh dalam diri Prof. Daniel O’Cornell, seorang Guru besar Hukum Internasional University Cambridge yang menaruh perhatian besar terhadap konsepsi negara kepulauan sejak tahun 1969, ketika masih menjadi Guru besar pada University of Adelaide. Konsepsi hukum negara kepulauan yang diperjuangkan Indonesia akhirnya masuk dalam pembahasan Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nati