Sumpah Pemuda
28 Oktober 1928
yang merupakan
pernyataan
K e s a t u a n
K e j i w a a n
Indonesia;
(2)
Proklamasi
17
Agustus
1945
sebagai
pernyataan
kemerdekaan
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja
NKRI; dan (3)
Delarasi Djuanda 13 Desember 1957 sebagai pernyataan
Kesatuan Kewilayahan Indonesia (darat, laut dan udara).
Pemerintah Indonesia melalui Keppres No.126/2001 telah
mengukuhkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara.
Ini akan menjadi sebuah hari yang senantiasa mengingatkan
kepada generasi penerus bangsa, bahwa habitat alamiah kita
adalah negara kepulauan yang akan menjadi tumpuan masa
depan dan oleh karenanya harus dipertahankan keutuhannya.
Dari Deklarasi Djuanda ke UNCLOS’82
Laut, karena sifatnya yang terbuka, pernah dianggap
sebagai warisan bersama umat manusia, sehingga hampir setiap
negara merasa berhak untuk melintasi dan memanfaatkan
lautan bagi kepentingannya. Asumsi tersebut tentu menjadi
sumber konflik potensial sehingga muncul perangkat hukum
laut internasional yang mengatur antara hak dan kewajiban
setiap negara berkaitan dengan perlintasan melalui laut, karena
berkaitan juga dengan dimensi keamanan dan kedaulatan
sebuah negara. Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordonantie
1939 sebagai hukum laut internasional yang berlaku pada
saat itu, oleh Pemerintah Indonesia dianggap mengandung
titik kelemahan mendasar karena tidak mempertimbangkan
ancaman kedaulatan terhadap sebuah negara yang memiliki
konstelasi geografisnya berupa kepulauan seperti halnya
Indonesia.
Maka demi menjamin perlindungan dan kesatuan wilayah
Nusantara, Indonesia berani mengambil langkah sangat
beresiko dengan mengumumkan kepada dunia Deklarasi
Djuanda. Pada tahun 1960, Pemerintah Indonesia menuangkan
Deklarasi Djuanda ke dalam Undang-Undang Nomor 4 Prp
Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.
Secara geo-politik, Deklarasi Djuanda memiliki arti
yang sangat strategis bagi masa depan kesatuan, persatuan,
pertahanan, kedaulatan, dan kemajuan Indonesia, sehingga
layak menjadi pilar utama ketiga dari bangunan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan secara geoekonomi Deklarasi Djuanda juga strategis bagi kejayaan
dan kemakmuran Indonesia, karena perairan Indonesia
menyimpan begitu banyak kekayaan sumber daya alam, baik
yang terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan
mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi),
maupun sumber daya alam yang tak terbarukan (seperti
minyak dan gas bumi, emas, perak, timah, bijih besi, bauksit,
dan mineral lainnya), serta sumber energi kelautan seperti
pasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC (Ocean Thermal
Energy Conversion), juga jasa-jasa lingkungan kelautan seperti
pariwisata bahari dan transportasi laut.
Oleh karena itu, meskipun dunia menolak Deklarasi
Djuanda, Indonesia tetap konsisten memperjuangkan
prinsipnya. Indonesia memperjuangkan masalah ini secara
diplomasi, baik di forum negara-negara berkembang, negaranegara Asia Afrika, forum Non-Blok, maupun di berbagai
forum akademik ilmiah internasional. Di antara banyak
pejuang diplomasi yang dengan gigih memperjuangkan
hak Indonesia di dunia internasional, terdapat dua tokoh
bangsa yang tidak akan terlupakan yakni Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja dan Prof. Dr. Hasyim Djalal.
Perjuangan Indonesia juga dilakukan melalui jalur
akademis antara lain dilakukan melalui pertemuan tahunan
yang diadakan oleh Law of the Sea Institute University Rhode
Island, di Kingston Amerika Serikat. Di kalangan akademisi,
konsepsi negara kepulauan menemukan seorang pendukung
yang sangat kuat dan berpengaruh dalam diri Prof. Daniel
O’Cornell, seorang Guru besar Hukum Internasional
University Cambridge yang menaruh perhatian besar terhadap
konsepsi negara kepulauan sejak tahun 1969, ketika masih
menjadi Guru besar pada University of Adelaide.
Konsepsi hukum negara kepulauan yang diperjuangkan
Indonesia akhirnya masuk dalam pembahasan Konvensi
PBB tentang Hukum Laut atau United Nati