OPINI
14
K
Berkaca dari
Filosofi Nakhoda
ecenderungan degradasi kepemimpinan nasional
yang ditandai dengan banyaknya kalangan eksekutif
dan legislatif yang terjerat berbagai kasus yang
seharusnya tabu dilakukan seorang pemimpin menjadi
indikator adanya krisis kepemimpinan di negeri ini. Ada
baiknya kita menyimak filosofi nakhoda secara tradisional
yang ternyata sarat akan konten kepemimpinan yang
dibutuhkan untuk memimpin Indonesia.
Istilah nakhoda memang tidak asing bagi komunitas
maritim di mana pun di dunia, yang merujuk pada jabatan
pemimpin utama di kapal atau kapten kapal yang menentukan
arah dan bertanggung jawab penuh atas operasional dan
keselamatan pelayarannya. Kata nakhoda sebenarnya berasal
dari Bahasa Persia kuno yang diserap oleh Bahasa Sansekerta
dan Bahasa Melayu.
Dalam kitab-kitab sastra zaman kerajaan Hindu Budha
terutama Sriwijaya dan Majapahit, kata nakhoda sering
disebut sebagai orang yang berpengaruh besar dalam kegiatan
pelayaran dan memiliki status sosial yang cukup tinggi di
tengah masyarakat. Banyak nakhoda yang juga sebagai
pemilik kapal atau juragan kapal. Di kawasan Indonesia
Timur, nakhoda sering disebut sebagai kapitan perahu.
Dalam kitab-kitab Melayu pada masa sesudah dua kerajaan
besar itu, nakhoda banyak ditampilkan sebagai tokoh sentral
dalam sebuah cerita seperti hikayat Nakhoda Asyiq yang
dihubungkan dengan pendirian Kasultanan Palembang dan
Hikayat Nakhoda Ragam yang terkait erat dengan eksistensi
Kasultanan Brunei. Eksistensi nakhoda diabadikan dalam
lagu Lancang Kuning yang menggambarkan sosok nakhoda
yang menentukan hidup mati kapal beserta awaknya.
Ternyata makna filosofi nakhoda sangat dalam bila
dikaitkan dengan pencarian sosok pemimpin yang ideal.
Nakhoda bermakna kompetensi, integritas, manajeman,
dan tanggung jawab. Dalam masyarakat maritim tradisional
penentuan nakhoda membutuhkan proses rumit tetapi
terbuka dan demokratis. Penentuan nakhoda bukan
didasarkan dari keturunan atau asal usul feodal namun
berangkat dari proses kompetensi yang cukup panjang dan
berjenjang hingga masyarakat memberikan kepercayaan
sebagai nakhoda.
Masyarakat maritim tradisional menentukan secara
terbuka pribadi-pribadi mana yang nantinya ditunjuk menjadi
pemimpin kapal berdasarkan kinerja, prestasi dan perilaku
dari jenjang posisi yang dijalani pribadi-pribadi itu. Sebaliknya
pribadi-pribadi calon pemimpin kapal ini juga memahami
betul kondisi fisik kapal yang menjadi medan kehidupannya,
interaksi sosial para awaknya, dan berbagai dinamika yang
terjadi di dalam setiap pelayarannya beserta cara mengatasi
permasalahan yang ditimbulkan dari dinamika itu.
Dari sinilah masyarakat memberikan penilaian terhadap
orang-orang yang kelak menjadi para pemimpin di kapal.
Penentuannya pun dilakukan secara demokratis melalui
kesepakatan bersama yang kesemuanya berdasarkan ukuran
kompetensi calon-calon itu. Nakhoda harus memiliki
visi ke depan yang digambarkan dalam kemampuannya
menentukan jalur pelayaran yang akan dilaluinya. Dia juga
memperkirakan perubahan cuaca, daya dukungan logistik
kapal, dan menentukan di mana kapal tersebut harus singgah
di pelabuhan untuk mengisi perbekalan pelayaran.
Meskipun memiliki kewenangan yang luas nakhoda
tetap menggunakannya secara terukur. Hal yang pasti
adalah nakhoda tidak akan melakukan korupsi terhadap
logistik pelayarannya karena pengurangan perbekalan akan
mengandung resiko kegagalan kapal menuju tujuannya.
Pelajaran yang satu inilah yang tepat diimplementasikan di
negara kita saat ini. Para pemimpin korup tidak menyadari
tentang potensi kegagalan dari tujuan atau minimal
terhambatnya tujuan program dari institusi yang dipimpinnya