Digital bukan lagi sebuah kata yang asing di telinga. Kata ini bahkan menjadi
pokok kehidupan dalam berbagai sektor saat ini, melebur dan terserap bersama
kompleksitas kemasyarakatan dunia yang semakin menyatu. Dengan
berkembangnya sibernetika hingga saat ini berevolusi menjadi internet of things,
hampir segala sesuatu memiliki sisi digitalnya, sehingga mungkin dalam titik yang
lebih jauh, sisi digital ini mendominasi dari sisi riil, menciptakan keterasingan
manusia-manusia yang mengalaminya. Salah satu dominasi ini sangat terlihat dalam
satu aspek penting dalam kehidupan bermasyarakat. Ya, aspek penyebaran
informasi, sebuah komponen utama bagi setiap manusia karena apa yang kita
lakukan, apa yang kita ucapkan, dan apa yang kita pikirkan, semua bergantung pada
informasi apa yang kita terima. Dalam prinsip ekstrimnya, mereka yang menguasai
informasi, menguasai dunia. Tapi masih adakah yang menguasai informasi di zaman
ini? Siapa sesungguhnya pemegang kuasa dalam dunia digital? Era digital telah
membuat aspek penyebaran informasi terdesentralisasi cukup drastis meski tidak
total, membuat dalam hal informasi apapun, siapapun bisa jadi pembuat, penyebar,
sekaligus konsumen. Sumber inforrmasi arus utama mungkin masih cukup
berpengaruh, namun perlahan terkikis oleh dekonstruk si kuasa yang dilakukan oleh
teknologi digital.
Informasi memang bisa berarti apapun, termasuk video anak kucing imut yang
tengah bermain bersama ibunya yang disebar ke berbagai media sosial untuk
mendapat respon “like” ribuan dari berbagai manusia yang melihatnya, atau juga
suatu deret angka 0 dan 1 yang dikirimkan oleh suatu mesin ATM ketika kode PIN
diberikan oleh pengguna untuk kemudian didekripsi dengan kunci publik yang
dimiliki bank sehingga bisa memberi akses terhadap kartu ATM kepada pengguna.
Ya, dua contoh itu sama-sama bisa dinamakan informasi, dan informasi semacam itu
sesungguhnya menarik, terutama bila ingin dipilah lebih tipis menjadi berbagai tipe
dan bentuk. Akan tetapi, menganalisa bentuk general dari suatu obyek akan
membutuhkan pisau yang tajam dan tulisan yang lebih komprehensif. Oleh karena
itu, dalam tulisan ini, kita sempitkan makna informasi ke wilayah yang lebih
signifikan, suatu aspek yang lebih menyangkut kepentingan publik, suatu bentuk
informasi yang sering dikenal dengan jurnalisme. Meskipun dalam definisi luasnya,
jurnalisme hampir seumum informasi, hanya saja jurnalisme cuma menyangkut
informasi-informasi yang dipersepsikan oleh manusia dalam kehidupan sehari-
harinya. Jurnalisme, sebagai subhimpunan dari informasi 1 , jelas juga tidak lepas dari
digitalisasi. Ia bahkan memiliki nama lain, jurnalisme digital, atau jurnalisme 2.0 2 .
Penulis akan lebih sering menggunakan kata informasi untuk merujuk pada jurnalisme pada tulisan
ini. Dalam hal ini, konteks informasi telah penulis sempitkan.
2 Penggunaan istilah jurnalisme 2.0 pada dasarnya merespon bentuk baru jurnalisme yang tidak hanya
melibatkan teks aksara semata, namun juga berbagai multimedia lainnya. Namun, seiring
berkembangnya teknologi, jurnalisme 2.0 dikaitkan dengan digitalisasi dunia jurnalisme. Lebih lanjut
lihat [1].
1
40