Booklet PHX #26: Post-Literacy | Page 41

Digital bukan lagi sebuah kata yang asing di telinga. Kata ini bahkan menjadi pokok kehidupan dalam berbagai sektor saat ini, melebur dan terserap bersama kompleksitas kemasyarakatan dunia yang semakin menyatu. Dengan berkembangnya sibernetika hingga saat ini berevolusi menjadi internet of things, hampir segala sesuatu memiliki sisi digitalnya, sehingga mungkin dalam titik yang lebih jauh, sisi digital ini mendominasi dari sisi riil, menciptakan keterasingan manusia-manusia yang mengalaminya. Salah satu dominasi ini sangat terlihat dalam satu aspek penting dalam kehidupan bermasyarakat. Ya, aspek penyebaran informasi, sebuah komponen utama bagi setiap manusia karena apa yang kita lakukan, apa yang kita ucapkan, dan apa yang kita pikirkan, semua bergantung pada informasi apa yang kita terima. Dalam prinsip ekstrimnya, mereka yang menguasai informasi, menguasai dunia. Tapi masih adakah yang menguasai informasi di zaman ini? Siapa sesungguhnya pemegang kuasa dalam dunia digital? Era digital telah membuat aspek penyebaran informasi terdesentralisasi cukup drastis meski tidak total, membuat dalam hal informasi apapun, siapapun bisa jadi pembuat, penyebar, sekaligus konsumen. Sumber inforrmasi arus utama mungkin masih cukup berpengaruh, namun perlahan terkikis oleh dekonstruk si kuasa yang dilakukan oleh teknologi digital. Informasi memang bisa berarti apapun, termasuk video anak kucing imut yang tengah bermain bersama ibunya yang disebar ke berbagai media sosial untuk mendapat respon “like” ribuan dari berbagai manusia yang melihatnya, atau juga suatu deret angka 0 dan 1 yang dikirimkan oleh suatu mesin ATM ketika kode PIN diberikan oleh pengguna untuk kemudian didekripsi dengan kunci publik yang dimiliki bank sehingga bisa memberi akses terhadap kartu ATM kepada pengguna. Ya, dua contoh itu sama-sama bisa dinamakan informasi, dan informasi semacam itu sesungguhnya menarik, terutama bila ingin dipilah lebih tipis menjadi berbagai tipe dan bentuk. Akan tetapi, menganalisa bentuk general dari suatu obyek akan membutuhkan pisau yang tajam dan tulisan yang lebih komprehensif. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, kita sempitkan makna informasi ke wilayah yang lebih signifikan, suatu aspek yang lebih menyangkut kepentingan publik, suatu bentuk informasi yang sering dikenal dengan jurnalisme. Meskipun dalam definisi luasnya, jurnalisme hampir seumum informasi, hanya saja jurnalisme cuma menyangkut informasi-informasi yang dipersepsikan oleh manusia dalam kehidupan sehari- harinya. Jurnalisme, sebagai subhimpunan dari informasi 1 , jelas juga tidak lepas dari digitalisasi. Ia bahkan memiliki nama lain, jurnalisme digital, atau jurnalisme 2.0 2 .                                                              Penulis akan lebih sering menggunakan kata informasi untuk merujuk pada jurnalisme pada tulisan ini. Dalam hal ini, konteks informasi telah penulis sempitkan. 2 Penggunaan istilah jurnalisme 2.0 pada dasarnya merespon bentuk baru jurnalisme yang tidak hanya melibatkan teks aksara semata, namun juga berbagai multimedia lainnya. Namun, seiring berkembangnya teknologi, jurnalisme 2.0 dikaitkan dengan digitalisasi dunia jurnalisme. Lebih lanjut lihat [1]. 1 40