LapORANKHUSUS
Pada notulen rapat yang
membahas Grand Design SAK hari Rabu,
4 Agustus 2010, bertempat di Ruang
Sidang Utama Gedung Kementerian
Dalam Negeri disebutkan, tim teknis
menyepakati Grand Design SAK
sebanyak 397 halaman, yang terdiri dari
7 bab dan 4 lampiran, yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari
Grand Design SAK, untuk disahkan oleh
Menteri Dalam Negrri dalam bentuk
Keputusan Menteri Dalam Negeri.
Notulen rapat dengan hasil
kesepakatan itu telah diteken pula
secara resmi dan sah pada hari dan
tanggal tersebut di atas oleh BS dalam
posisi/jabatan strukturalnya tersebut di
atas. Nama, jabatan, dan tanda tangan
BS dengan jelas tercantum dalam
laporan itu. Hal itu mengindikasikan,
BS pada dasarnya dalam posisi dan
jabatan strukturalnya selaku wakil resmi
dari institusi Polri telah menyetujui dan
sepakat dengan Grand Design SAK,
termasuk pula penerapan e-KTP yang
mengharuskan penerbitan nomor induk
kependudukan secara nasional.
Namun, dalam perkembangannya
kemudian, ternyata BS dalam posisi/
jabatan strukturalnya di institusi Polri
malah mengembangkan sendiri program
Inafis. Bahkan, sekitar pertengahan
bulan Desember 2011, BS meneken
kontrak pengadaan Inafis senilai Rp 27,6
miliar dengan PT Turangga. PT Turangga
ini diduga kuat merupakan mantan
anggota konsorsium yang kalah dalam
perebutan tender pengadaan e-KTP.
Alasan utama pihak BS
ngotot mengembangkan Inafis,
yang realisasinya sudah lama tidak
ada kelanjutannya itu, adalah untuk
menutup kekurangan dari sistem
e-KTP. Kekurangan tersebut antara
lain penerapan input data finger print
untuk e-KTP, dengan SAK-nya yang
hanya mampu menyerap 50 persen dari
permukaan sidik jari penduduk. Padahal,
ketentuan di Polri, untuk identifikasi
minimal 95 persen dari permukaan sidik
jari seorang penduduk harus terekam.
Bila persoalannya adalah pada
kekurangan penerapan/implementasi
input data sidik jari, mengapa BS
sebagai anggota tim teknis dan dalam
jabatan struktural di institusi Polri
tidak mendesak ketua tim teknis agar
menyempurnakan atau memperbaiki
prosedur input data sidik jari? Tetapi
kenapa justru dia mengembangkan
sendiri sistem tandingan bernama Inafis?
BS sudah menyepakati Grand
Design SAK. Kenapa BS justru
mempersoalkan kelemahan sistem yang
merupakan bagian dari Grand Design
SAK, yang notabene sudah disetujui dan
ditekennya sendiri? Bukankan ini sama
ILUSTRASI: ASN/ELLY
dengan menjilat ludahnya sendiri?
Bila karena kepakaran, keahlian,
dan pengalamannya BS mengetahui
adanya kelemahan-kelemahan dalam
Grand Design SAK dalam penerapan
e-KTP yang kemudian sudah ia
sepakati, mengapa dalam rapat-rapat
tim teknis itu dia tidak menyampaikan
kelemahan-kelemahannya? Mengapa BS
justru mengembangkan sistem sendiri
bernama Inafis, yang sebenarnya sudah
tidak dipakai lagi?
Untuk Inafis itu sendiri, Ketua
Presidium Indonesia Police Watch
Neta S Pane pada April 2012 sempat
kaget. Karena, penerbitan kartu Inafis
yang dimulai 17 April 2012 oleh Badan
Reserse Kriminal Polri tak ada sosialisasi
terlebih dulu.
Ketika itu, Kepala Badan Reserse
Kriminal Polri Komisaris Jenderal
Sutarman mengatakan, pembuatan
Inafis bertujuan sebagai identitas
tunggal dan juga amanat Peraturan
Pemerintah Nomor 50 Tahun 2010
tentang Jenis dan Tarif atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Kepolisian saat itu memberikan
Inafis secara cuma-cuma kepada 5.000
pembuat pertama. Namun setelah
itu pembuatan kartu dikenakan biaya
Rp 35.000.