Asatunews Magazine - edisi 02 Okt - Nov 2013 | Page 19

LapORANKHUSUS Pada notulen rapat yang membahas Grand Design SAK hari Rabu, 4 Agustus 2010, bertempat di Ruang Sidang Utama Gedung Kementerian Dalam Negeri disebutkan, tim teknis menyepakati Grand Design SAK sebanyak 397 halaman, yang terdiri dari 7 bab dan 4 lampiran, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Grand Design SAK, untuk disahkan oleh Menteri Dalam Negrri dalam bentuk Keputusan Menteri Dalam Negeri. Notulen rapat dengan hasil kesepakatan itu telah diteken pula secara resmi dan sah pada hari dan tanggal tersebut di atas oleh BS dalam posisi/jabatan strukturalnya tersebut di atas. Nama, jabatan, dan tanda tangan BS dengan jelas tercantum dalam laporan itu. Hal itu mengindikasikan, BS pada dasarnya dalam posisi dan jabatan strukturalnya selaku wakil resmi dari institusi Polri telah menyetujui dan sepakat dengan Grand Design SAK, termasuk pula penerapan e-KTP yang mengharuskan penerbitan nomor induk kependudukan secara nasional. Namun, dalam perkembangannya kemudian, ternyata BS dalam posisi/ jabatan strukturalnya di institusi Polri malah mengembangkan sendiri program Inafis. Bahkan, sekitar pertengahan bulan Desember 2011, BS meneken kontrak pengadaan Inafis senilai Rp 27,6 miliar dengan PT Turangga. PT Turangga ini diduga kuat merupakan mantan anggota konsorsium yang kalah dalam perebutan tender pengadaan e-KTP. Alasan utama pihak BS ngotot mengembangkan Inafis, yang realisasinya sudah lama tidak ada kelanjutannya itu, adalah untuk menutup kekurangan dari sistem e-KTP. Kekurangan tersebut antara lain penerapan input data finger print untuk e-KTP, dengan SAK-nya yang hanya mampu menyerap 50 persen dari permukaan sidik jari penduduk. Padahal, ketentuan di Polri, untuk identifikasi minimal 95 persen dari permukaan sidik jari seorang penduduk harus terekam. Bila persoalannya adalah pada kekurangan penerapan/implementasi input data sidik jari, mengapa BS sebagai anggota tim teknis dan dalam jabatan struktural di institusi Polri tidak mendesak ketua tim teknis agar menyempurnakan atau memperbaiki prosedur input data sidik jari? Tetapi kenapa justru dia mengembangkan sendiri sistem tandingan bernama Inafis? BS sudah menyepakati Grand Design SAK. Kenapa BS justru mempersoalkan kelemahan sistem yang merupakan bagian dari Grand Design SAK, yang notabene sudah disetujui dan ditekennya sendiri? Bukankan ini sama ILUSTRASI: ASN/ELLY dengan menjilat ludahnya sendiri? Bila karena kepakaran, keahlian, dan pengalamannya BS mengetahui adanya kelemahan-kelemahan dalam Grand Design SAK dalam penerapan e-KTP yang kemudian sudah ia sepakati, mengapa dalam rapat-rapat tim teknis itu dia tidak menyampaikan kelemahan-kelemahannya? Mengapa BS justru mengembangkan sistem sendiri bernama Inafis, yang sebenarnya sudah tidak dipakai lagi? Untuk Inafis itu sendiri, Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S Pane pada April 2012 sempat kaget. Karena, penerbitan kartu Inafis yang dimulai 17 April 2012 oleh Badan Reserse Kriminal Polri tak ada sosialisasi terlebih dulu. Ketika itu, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Sutarman mengatakan, pembuatan Inafis bertujuan sebagai identitas tunggal dan juga amanat Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak. Kepolisian saat itu memberikan Inafis secara cuma-cuma kepada 5.000 pembuat pertama. Namun setelah itu pembuatan kartu dikenakan biaya Rp 35.000.