Asatunews Magazine - edisi 02 Okt - Nov 2013 | Page 14

Sorot Kisah Ratu Atut di (Bukan) Negeri Dongeng Ketika akan dijadikan calon Wakil Gubernur Banten, Atut Chosiyah ternyata “diculik” untuk didandani dan diajarkan bergaya di depan publik. Atut dan keluarganya mengidap sindroma kelangkaan? FOTO: ISTIMEWA S EPERTI bola salju yang terus menggelinding, begitulah tampaknya dugaan korupsi yang melanda keluarga besar Gubernur Banten Atut Chosiyah. Kamis lalu (24/10), misalnya, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad di Yogyakarta mengatakan akan segera memeriksa Walikota Tangerang Selatan, Banten, Airin Rachmi Diany. Airin adalah adik ipar Atut, istri dari Chaeri Wardana, yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi terkait kasus dugaan suap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Airin rencananya akan diperiksa untuk kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di wilayah yang ia pimpin. Sementara itu, tak lama setelah adiknya ditangkap, Atut Chosiyah sudah dilarang berpergian ke luar negeri alias dicegah tangkal oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Sudah sejak lama sebenarnya masyarakat, khususnya di Banten, muak dengan tingkah polah Atut Chosiyah dengan keluarga besarnya, yang rakus kekuasaan dan juga sangat rajin mengumpulkan harta kekayaan dengan berbagai cara, termasuk mengangkangi berbagai proyek di Banten. 14 Yang kerap berbicara keras mengkritik keluarga itu adalah para aktivis yang bergabung dalam mailing list wongbanten, yang kemudian dipindahkan ke grup di Facebook dengan nama yang sama. Salah seorang di antara mereka adalah penulis fiksi produktif yang juga pendiri komunitas Rumah Dunia di Serang, Banten, Gol A Gong alias Heri Hendrayana Haris. Kekayaaan Atut memang terbilang luar biasa. Pernah diberitakan, dia bahkan lebih kaya dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Herannya, Atut terakhir kali melaporkan kekayaannya tujuh tahun lalu, tapi tidak ada seorang pun, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi, yang berbicara. Padahal, laporan soal dugaan korupsi yang dilakukan Atut sudah lama dilakukan oleh banyak pihak ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Tujuh tahun lalu, total nilai kekayaan Atut hampir menca pai Rp 42 miliar. Dan, menurut juru bicara keluarga Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Fitron Nur Ikhsan, kekayaannya selama tujuh tahun belakangan ini terus bertambah, terutama karena warisan dari orang tuanya. Fitron yang tadinya dikenal sebagai aktivis duafa yang kerap edisi 2/th. I | Okt - Nov 2013 mengkritisi Atut itu pun menyatakan, semua yang diperoleh Atut dan keluarganya selama ini telah dibangun sejak lama dan dengan bersusah payah. Fitron boleh saja berbicara begitu. Namun, sumber kami yang pernah sangat dekat dengan ayah Atut, Chasan Sochib, punya cerita berbeda. Sumber kami itu mengaku tahu benar bagaimana kondisi Chasan Sochib dan cara ia mengumpulkan kekayaannya. Untuk memudahkan, sebut saja sumber itu dengan inisial Y, walaupun itu bukan inisial namanya. Menurut Y, Chasan Sochib sejak awal menjadi pengusaha sudah melakukan banyak kolusi. “Awalnya, dia bekerja sama dengan Sutadi, yang waktu itu masih kepala seksi di Kabupaten Serang, yang masih menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Makanya, sebagai balas jasa, sewaktu Atut jadi wakil gubernur, Sutadi diangkat menjadi Kepala Biro Umum dan Perlengkapan Provinsi Banten dan kemudian juga menjadi Pelaksana Tugas Kepala Dinas Bina Marga dan Tata Ruang Provinsi Banten. Ketika Atut menjadi Gubernur Banten, Sutadi secara resmi diangkat menjadi Kepala Dinas Bina Marga dan Tata Ruang Provinsi Banten, padahal masih banyak senior di atasnya,” ungkap Y. Sutadi ini, lanjut Y, pada tahun lalu pernah diperiksa Kejaksaan Tinggi Banten. “Dia waktu itu dipanggil hanya sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan lahan Gerai Samsat Sepatan di Kapubanten Tangerang,” ujar Y. Namun, pertemuan Chasan Sochib dengan Sutadi terjadi belakangan, setelah Chasan Sochib punya CV Sinar Ciomas. “Awalnya, tahun 1960-an, Chasan Sochib berjualan kelapa. Ia mengirim kelapa sampai ke Jakarta. Entah ribut atau entah karena sebab lain, Chasan Sochib dijebloskan ke penjara. Nah, keluar dari penjara, dia pada tahun 1960-an itu juga kemudian bekerja sebagi pengantar beras di perusahaan milik H. Tubagus Kaking,” kata Y. Chasan di perusahaan Kaking adalah pekerja kasar. “Kalau ngantar beras ke Jakarta, misalnya, dia