Sorot
Kisah Ratu Atut
di (Bukan) Negeri Dongeng
Ketika akan dijadikan calon Wakil Gubernur Banten,
Atut Chosiyah ternyata “diculik” untuk didandani
dan diajarkan bergaya di depan publik. Atut dan
keluarganya mengidap sindroma kelangkaan?
FOTO: ISTIMEWA
S
EPERTI bola salju yang terus
menggelinding, begitulah
tampaknya dugaan korupsi yang
melanda keluarga besar Gubernur
Banten Atut Chosiyah. Kamis lalu
(24/10), misalnya, Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi Abraham Samad
di Yogyakarta mengatakan akan segera
memeriksa Walikota Tangerang Selatan,
Banten, Airin Rachmi Diany. Airin adalah
adik ipar Atut, istri dari Chaeri Wardana,
yang ditangkap Komisi Pemberantasan
Korupsi terkait kasus dugaan suap Ketua
Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar.
Airin rencananya akan diperiksa
untuk kasus dugaan korupsi pengadaan
alat kesehatan di wilayah yang ia
pimpin. Sementara itu, tak lama setelah
adiknya ditangkap, Atut Chosiyah
sudah dilarang berpergian ke luar
negeri alias dicegah tangkal oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sudah sejak lama sebenarnya
masyarakat, khususnya di Banten, muak
dengan tingkah polah Atut Chosiyah
dengan keluarga besarnya, yang
rakus kekuasaan dan juga sangat rajin
mengumpulkan harta kekayaan dengan
berbagai cara, termasuk mengangkangi
berbagai proyek di Banten.
14
Yang kerap berbicara keras
mengkritik keluarga itu adalah para
aktivis yang bergabung dalam mailing
list wongbanten, yang kemudian
dipindahkan ke grup di Facebook
dengan nama yang sama. Salah seorang
di antara mereka adalah penulis fiksi
produktif yang juga pendiri komunitas
Rumah Dunia di Serang, Banten, Gol A
Gong alias Heri Hendrayana Haris.
Kekayaaan Atut memang terbilang
luar biasa. Pernah diberitakan, dia
bahkan lebih kaya dari Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Herannya, Atut
terakhir kali melaporkan kekayaannya
tujuh tahun lalu, tapi tidak ada seorang
pun, termasuk Komisi Pemberantasan
Korupsi, yang berbicara. Padahal, laporan
soal dugaan korupsi yang dilakukan Atut
sudah lama dilakukan oleh banyak pihak
ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Tujuh tahun lalu, total nilai
kekayaan Atut hampir menca pai Rp 42
miliar. Dan, menurut juru bicara keluarga
Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah,
Fitron Nur Ikhsan, kekayaannya selama
tujuh tahun belakangan ini terus
bertambah, terutama karena warisan
dari orang tuanya. Fitron yang tadinya
dikenal sebagai aktivis duafa yang kerap
edisi 2/th. I | Okt - Nov 2013
mengkritisi Atut itu pun menyatakan,
semua yang diperoleh Atut dan
keluarganya selama ini telah dibangun
sejak lama dan dengan bersusah payah.
Fitron boleh saja berbicara
begitu. Namun, sumber kami yang
pernah sangat dekat dengan ayah Atut,
Chasan Sochib, punya cerita berbeda.
Sumber kami itu mengaku tahu benar
bagaimana kondisi Chasan Sochib dan
cara ia mengumpulkan kekayaannya.
Untuk memudahkan, sebut saja
sumber itu dengan inisial Y, walaupun
itu bukan inisial namanya. Menurut
Y, Chasan Sochib sejak awal menjadi
pengusaha sudah melakukan banyak
kolusi. “Awalnya, dia bekerja sama dengan
Sutadi, yang waktu itu masih kepala seksi
di Kabupaten Serang, yang masih menjadi
bagian dari Provinsi Jawa Barat. Makanya,
sebagai balas jasa, sewaktu Atut jadi wakil
gubernur, Sutadi diangkat menjadi Kepala
Biro Umum dan Perlengkapan Provinsi
Banten dan kemudian juga menjadi
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Bina Marga
dan Tata Ruang Provinsi Banten. Ketika
Atut menjadi Gubernur Banten, Sutadi
secara resmi diangkat menjadi Kepala
Dinas Bina Marga dan Tata Ruang Provinsi
Banten, padahal masih banyak senior di
atasnya,” ungkap Y.
Sutadi ini, lanjut Y, pada tahun
lalu pernah diperiksa Kejaksaan Tinggi
Banten. “Dia waktu itu dipanggil hanya
sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi
pengadaan lahan Gerai Samsat Sepatan di
Kapubanten Tangerang,” ujar Y.
Namun, pertemuan Chasan Sochib
dengan Sutadi terjadi belakangan,
setelah Chasan Sochib punya CV Sinar
Ciomas. “Awalnya, tahun 1960-an, Chasan
Sochib berjualan kelapa. Ia mengirim
kelapa sampai ke Jakarta. Entah ribut atau
entah karena sebab lain, Chasan Sochib
dijebloskan ke penjara. Nah, keluar dari
penjara, dia pada tahun 1960-an itu juga
kemudian bekerja sebagi pengantar
beras di perusahaan milik H. Tubagus
Kaking,” kata Y.
Chasan di perusahaan Kaking
adalah pekerja kasar. “Kalau ngantar
beras ke Jakarta, misalnya, dia