Asatunews Magazine - edisi 01 Okt. 2013 | Page 19

EKONOMI dikenallkan, jumlah penerimaan melonjak pajak seketika melonjak. Bahkan pada masa pemerintahan KH Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri angkanya menjadi sekitar Rp1.000 triliun. "Sekarang penerimaan pajak Indonesia mencapai Rp1.000 triliun per tahun atau sekitar Rp4 triliun per hari," kata pakar pajar Universitas Airlangga ini. Namun, karena penerimaan dari pendapatan minyak dan gas tidak lagi menjadi yang utama dalam Angkatan Pendapatan Belanda Negara (APBN), proporsi penerimaan pajak pun menjadi 78 persen dari APBN. "Fungsi APBN pun menjadi yang utama, padahal seharusnya tidak begitu," kata Sudibyo. Pengubahan artikulasi fungsi ini dinilai Sudibyo secara teoritis tidak adil bagi pembayar pajak, karena pembayar pajak dipaksa mencapai target angka Rp1.000 triliun. "Padahal pajak tidak mengenal target," kata dia. Menurut Sudibyo, prinsip pajak itu adil proporsional. "Sesuai daya pikul pembayar pajak. Anda berpenghasilan besar, maka besar pula kewajiban pajaknya, sebaliknya Anda berpenghasilan kecil maka kecil pula kewajiban pajaknya." Sudibyo melihat prinsip itu tidak berlaku di Indonesia, padahal menurut dia, konsep proporsional dan keadilan dalam pajak itu terletak pada pengenaan pajak badan berupa Pajak Penghasilan (PPh), dan bukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Menurut dia, jika Indonesia ingin menekankan asas keadilan dan proporsional dalam alokasi pajak, maka yang harus dikedepankan adalah PPh. "Sayangnya PPh kita hanya 5-30 persen, padahal negara-negara yang maju perpajakannya seperti negara-negara Skandinavia, PPh mereka di atas 60 persen," kata Sudibyo. Keterbatasan ini, sambung dia, membuat upaya 'mencari celah' terlihat dominan, sehingga mengabaikan keadilan. Padahal, pajak itu proporsional, memperhatikan kecil dan besar kemampuan membayar pajak warga negara, dari pusat sampai daerah. "Kita hanya ingin mengejar penerimaan, tanpa mempedulikan unsur keadilan, akibatnya daerah-daerah dipaksa memenuhi target penerimaan paj