EKONOMI
dikenallkan, jumlah penerimaan
melonjak pajak seketika melonjak.
Bahkan pada masa pemerintahan KH
Abdurrahman Wahid dan Megawati
Soekarnoputri angkanya menjadi sekitar
Rp1.000 triliun. "Sekarang penerimaan
pajak Indonesia mencapai Rp1.000
triliun per tahun atau sekitar Rp4 triliun
per hari," kata pakar pajar Universitas
Airlangga ini.
Namun, karena penerimaan dari
pendapatan minyak dan gas tidak lagi
menjadi yang utama dalam Angkatan
Pendapatan Belanda Negara (APBN),
proporsi penerimaan pajak pun menjadi
78 persen dari APBN. "Fungsi APBN
pun menjadi yang utama, padahal
seharusnya tidak begitu," kata Sudibyo.
Pengubahan artikulasi fungsi ini
dinilai Sudibyo secara teoritis tidak adil
bagi pembayar pajak, karena pembayar
pajak dipaksa mencapai target angka
Rp1.000 triliun. "Padahal pajak tidak
mengenal target," kata dia.
Menurut Sudibyo, prinsip
pajak itu adil proporsional. "Sesuai
daya pikul pembayar pajak. Anda
berpenghasilan besar, maka besar pula
kewajiban pajaknya, sebaliknya Anda
berpenghasilan kecil maka kecil pula
kewajiban pajaknya."
Sudibyo melihat prinsip itu tidak
berlaku di Indonesia, padahal menurut
dia, konsep proporsional dan keadilan
dalam pajak itu terletak pada pengenaan
pajak badan berupa Pajak Penghasilan
(PPh), dan bukan Pajak Pertambahan
Nilai (PPN).
Menurut dia, jika Indonesia
ingin menekankan asas keadilan dan
proporsional dalam alokasi pajak, maka
yang harus dikedepankan adalah PPh.
"Sayangnya PPh kita hanya 5-30 persen,
padahal negara-negara yang maju
perpajakannya seperti negara-negara
Skandinavia, PPh mereka di atas 60
persen," kata Sudibyo.
Keterbatasan ini, sambung dia,
membuat upaya 'mencari celah' terlihat
dominan, sehingga mengabaikan
keadilan. Padahal, pajak itu proporsional,
memperhatikan kecil dan besar
kemampuan membayar pajak warga
negara, dari pusat sampai daerah. "Kita
hanya ingin mengejar penerimaan,
tanpa mempedulikan unsur keadilan,
akibatnya daerah-daerah dipaksa
memenuhi target penerimaan paj