fasad rumah, ilusi dari perpindahan manusia
Menetap dan berpindah adalah persoalan paling purba. Manusia bergerak
demi bertahan hidup, survival, mencari makan, dan mencari daerah yang
baik untuk bisa ditinggali. Perpindahan pada akhirnya adalah perkara rumah,
tempat berdiam, menetap. Bahwa kemudian berpindah lagi karena berbagai
hal, itu sebuah keniscayaan bumi yang berubah. Di zaman modern, sejak semua
dicatat, didefiniskkan, kategorisasi, seseorang tercatat jadi warga masyarakat,
negara tertentu, manusia tak lagi mencari tempat menetap, tapi ditetapkan
untuk menetap. Dengan identitas, orang akan lebih sulit berpindah, terlebih
untuk menetap di tempat lain dalam waktu lama. Seluruh kepergian dan
aktivitas perjalanan sifatnya menjadi sementara. Ia harus kembali. Pulang.
Rumah. Kartu identitas, di satu sisi membebaskan sebab orang punya “tanda
pengenal,” di lain sisi mengikat. Ada semacam jangkar yang selalu menahan
orang untuk tidak pergi. Entah itu rumah, tanah, keluarga, kartu identitas,
ataupun bentuk kepemilikan (barang) lain. Orang diharuskan kembali;
dilekatkan pada sesuatu sebagai jaminan untuk kembali. Selain wilayah, kartu
identitas juga berisi profesi, jenis kelamin, status, alamat, dan agama. Jadi
ada “batas” yang harus disandang setiap manusia di sana. Dari masyarakat
nomaden, masyarakat menetap, dan kemudian masyarakat modern; hingga
munculnya masyarakat kontemporer yang melahirkan semacam “digital
nomad” dan para traveller - era yang sering kita sebut sebagai era masyarakat
kosmopolit. Pada masyarakat kosmopolit, keberumahan dan keberpindahan
tampak menjadi suatu keniscayaan. Pemahaman atas “tempat” pun jadi
berbeda.
2
FASAD. Pada akhirnya rumah jadi sebuah fiksi. Ia tak lagi berupa sesuatu yang
secara fisik ada untuk ditinggali, melainkan bayangan yang selalu melekat
sepanjang perjalanan. Fiksi, atau ilusi tentang rumah, seperti juga bayangan
atas “Tanah Air” yang ‘melanda’ orang-orang yang stateless, mungkin memang
harus ada demi membuat sebuah perjalanan (dalam arti yang lebih jauh,
kehidupan) bertahan. Rumah, atau sebuah kepulangan mungkin bukan lagi
soal asal muasal, atau alamat yang tertulis di kartu identitas, melainkan apa
yang bisa dihidupi; Negeri pemberi suaka, dan orang-orang yang menyambut.
Pulang dan rumah menjadi ilusi besar. Namun, ilusi tersebut akan selalu ada di
setiap langkah kaki manusia, setiap meter kendaraan melaju. Ia ada di lampu-
lampu di jendela rumah yang dilewati kereta pada malam hari, pohon-pohon
mangga, rambutan, jambu, serakan daun-daun di halaman, kotak sampah di