ARTISAN edisi 2 Artisan Issue 3-PRESS | Página 2

fasad rumah, ilusi dari perpindahan manusia Menetap dan berpindah adalah persoalan paling purba. Manusia bergerak demi bertahan hidup, survival, mencari makan, dan mencari daerah yang baik untuk bisa ditinggali. Perpindahan pada akhirnya adalah perkara rumah, tempat berdiam, menetap. Bahwa kemudian berpindah lagi karena berbagai hal, itu sebuah keniscayaan bumi yang berubah. Di zaman modern, sejak semua dicatat, didefiniskkan, kategorisasi, seseorang tercatat jadi warga masyarakat, negara tertentu, manusia tak lagi mencari tempat menetap, tapi ditetapkan untuk menetap. Dengan identitas, orang akan lebih sulit berpindah, terlebih untuk menetap di tempat lain dalam waktu lama. Seluruh kepergian dan aktivitas perjalanan sifatnya menjadi sementara. Ia harus kembali. Pulang. Rumah. Kartu identitas, di satu sisi membebaskan sebab orang punya “tanda pengenal,” di lain sisi mengikat. Ada semacam jangkar yang selalu menahan orang untuk tidak pergi. Entah itu rumah, tanah, keluarga, kartu identitas, ataupun bentuk kepemilikan (barang) lain. Orang diharuskan kembali; dilekatkan pada sesuatu sebagai jaminan untuk kembali. Selain wilayah, kartu identitas juga berisi profesi, jenis kelamin, status, alamat, dan agama. Jadi ada “batas” yang harus disandang setiap manusia di sana. Dari masyarakat nomaden, masyarakat menetap, dan kemudian masyarakat modern; hingga munculnya masyarakat kontemporer yang melahirkan semacam “digital nomad” dan para traveller - era yang sering kita sebut sebagai era masyarakat kosmopolit. Pada masyarakat kosmopolit, keberumahan dan keberpindahan tampak menjadi suatu keniscayaan. Pemahaman atas “tempat” pun jadi berbeda. 2 FASAD. Pada akhirnya rumah jadi sebuah fiksi. Ia tak lagi berupa sesuatu yang secara fisik ada untuk ditinggali, melainkan bayangan yang selalu melekat sepanjang perjalanan. Fiksi, atau ilusi tentang rumah, seperti juga bayangan atas “Tanah Air” yang ‘melanda’ orang-orang yang stateless, mungkin memang harus ada demi membuat sebuah perjalanan (dalam arti yang lebih jauh, kehidupan) bertahan. Rumah, atau sebuah kepulangan mungkin bukan lagi soal asal muasal, atau alamat yang tertulis di kartu identitas, melainkan apa yang bisa dihidupi; Negeri pemberi suaka, dan orang-orang yang menyambut. Pulang dan rumah menjadi ilusi besar. Namun, ilusi tersebut akan selalu ada di setiap langkah kaki manusia, setiap meter kendaraan melaju. Ia ada di lampu- lampu di jendela rumah yang dilewati kereta pada malam hari, pohon-pohon mangga, rambutan, jambu, serakan daun-daun di halaman, kotak sampah di