An Ode: Shadow - A Seventeen Anthology | Page 96

beberapa bahkan semi-transparan, dari ujung rambut hingga ujung kaki, membiaskan peman- dangan langit malam berbintang yang indah di balik tubuh mereka. Minghao secara refleks mundur beberapa langkah ketika arwah-arwah itu menyerang si makhluk. Menggigit, mencakar, memaksa tangan itu melepaskan si anak lelaki yang ia gantungkan nyawanya. Beberapa arwah binatang harus rela dirobek tubuhnya dan darahnya tumpah ke dekat kaki Minghao. Yang satu merelakan lengannya tercabik agar arwah yang lain dapat menggigit lepas salah satu jari hitam si makhluk. Mereka semua bergulat di antara merah darah dan bagian-bagian tubuh yang putih, meninggalkan Minghao menelan ludah dalam keraguan, begitu juga dengan kumpulan orang di belakangnya. Ia kira ia bisa menden- gar Seungcheol atau Chan muntah ke pinggir jalan. Saat terdengar pekikan kencang dan kering seperti kuburan, makhluk itu pun tumbang, tidak lagi berjari. Tangan besar itu menggeliat ganas sebelum mendadak berhenti total, lalu menja- di serpihan kecil debu yang tersapu angin. Mingyu dibawa turun perlahan oleh para arwah untuk direbahkan ke jalan. Minghao menguatkan dirinya untuk berlari menghampiri Mingyu, berusaha menutup mata akan bercak darah dan potongan tubuh yang ia lewati. “Gyu! Gyu!” ia menepuk-nepuk pipinya sambil komat-kamit berdoa. “GYU!” “Hao!” Teriakan Jun, lagi-lagi, menyadarkannya. Minghao dan Mingyu ada di tengah lingkaran arwah. Mereka semua menatap kopong padanya. Meski mereka telah menolong Mingyu, Minghao tidak tahu apakah mereka aman baginya. Bisa saja kali ini mereka berbalik menyerangnya. Ia sudah siap, tanpa berpikir dipasangnya kuda-kuda. Apa pun yang terjadi, ia harus membawa Mingyu keluar dari sini. Apa pun, apa pun… “Xiao ba...” Minghao menahan napas. Hanya ada satu orang yang memanggilnya seperti itu. Sesosok arwah berjalan maju, keluar dari lingkaran, mendekatinya. Perlahan tapi pasti, sosok itu kian jelas. Tubuhnya terbentuk. Rambutnya yang panjang dicepol. Lalu wajahnya… …Oh. Tentu saja. “…Mama…” Wanita itu tersenyum lembut. Minghao sesaat melupakan Mingyu untuk menghampiri arwah ibunya dan memeluknya erat. Ia berusaha agar tangisnya tidak tumpah, karena ibunya selalu bilang kalau ia akan sedih melihat Minghao menangis, namun ia gagal dengan suksesnya. Bulir air matanya berjatuhan. Ibunya masih sama seperti sepuluh tahun yang lalu. Pelukannya masih hangat. Aromanya masih harum lavender. “Mama… Mama…,” anak lelaki itu terisak