tegap dan otot-otot yang terbentuk, namun cengkeraman tangan itu begitu kokoh di lehernya.
Tubuhnya terangkat hingga melayang. Ia mati-matian mencakari tangan itu. Udara mendadak
begitu tipis. Batang tenggorokannya ditekan kuat. Sakit. Sakit! Cakarannya yang ganas tanpa
henti membuat pemilik tangan itu menggeram kesal dan melonggarkan cekikannya pada
leher Mingyu. Anak itu mengambil kesempatan tersebut untuk meraup udara banyak-banyak
dan berteriak sekuat tenaga.
“TO-TOLONG!!”
Semua orang seketika menegang. Minghao yang bergerak terlebih dahulu, refleksnya lebih
cepat daripada proses otaknya, sebab ia kenal betul suara itu di luar kepala. Melihat Minghao
mengarah ke satu tujuan pasti, mereka semua mengikutinya berbondong-bondong. Beberapa
yang lebih berkepala dingin, termasuk Joshua, Wonwoo, Jeonghan, Hansol, dan yang terlalu
takut untuk bergerak seperti Seokmin dan Seungkwan, memutuskan untuk tinggal dan berja-
ga. Wonwoo melirik ke arah Jihoon yang juga tidak bergerak dari tempatnya berdiri, hanya
memandangi arah tujuan kelompok itu.
Sepatu Minghao berdecit karena ia berhenti tiba-tiba. Di muka gang sempit, Mingyu meronta
putus asa di udara. Sebuah tangan tengah mencekiknya.
“GYU!”
Mingyu membuka satu mata. “H-Hao…,” keluar amat kering, bagai pasir. Ia sudah tak punya
tenaga lagi untuk melawan. Persediaan udaranya kian menipis. Sebentar lagi otaknya takkan
berfungsi. Jantungnya pun—
Minghao merunduk, memasang kuda-kuda dengan gesit, bersiap untuk menyerang tangan
misterius itu, tak peduli apakah justru dirinya yang akan terluka atau malah tidak bisa
menyentuh makhluk itu sama sekali.
“HAO!” itu suara Jun. Minghao mematerikannya, namun tak mengindahkannya. Pikirannya
hanya terpusat pada Mingyu yang mulai lemas tak bisa bernapas. “HAO! JANGAN!”
“DIEM, JUN! INI NYAWA GYU!”
“BUKAN! MAKSUDKU—“ Jun frustrasi. Lidahnya hampir tergigit karena ia berucap terbu-
ru-buru. “LIHAT ATAS, HAO!”
Atas…?
Mau tak mau, Minghao mendongak.
Persis di atas kepalanya, banyak arwah bergentayangan. Bola api berwarna putih melayang
ke sana-kemari. Arwah-arwah manusia yang berdiam diri, tak bergerak memandangi makh-
luk di dalam kegelapan. Lebih dari takut, anak lelaki itu terpana. Mereka berwarna putih,