An Ode: Shadow - A Seventeen Anthology | Page 93

tegap dan otot-otot yang terbentuk, namun cengkeraman tangan itu begitu kokoh di lehernya. Tubuhnya terangkat hingga melayang. Ia mati-matian mencakari tangan itu. Udara mendadak begitu tipis. Batang tenggorokannya ditekan kuat. Sakit. Sakit! Cakarannya yang ganas tanpa henti membuat pemilik tangan itu menggeram kesal dan melonggarkan cekikannya pada leher Mingyu. Anak itu mengambil kesempatan tersebut untuk meraup udara banyak-banyak dan berteriak sekuat tenaga. “TO-TOLONG!!” Semua orang seketika menegang. Minghao yang bergerak terlebih dahulu, refleksnya lebih cepat daripada proses otaknya, sebab ia kenal betul suara itu di luar kepala. Melihat Minghao mengarah ke satu tujuan pasti, mereka semua mengikutinya berbondong-bondong. Beberapa yang lebih berkepala dingin, termasuk Joshua, Wonwoo, Jeonghan, Hansol, dan yang terlalu takut untuk bergerak seperti Seokmin dan Seungkwan, memutuskan untuk tinggal dan berja- ga. Wonwoo melirik ke arah Jihoon yang juga tidak bergerak dari tempatnya berdiri, hanya memandangi arah tujuan kelompok itu. Sepatu Minghao berdecit karena ia berhenti tiba-tiba. Di muka gang sempit, Mingyu meronta putus asa di udara. Sebuah tangan tengah mencekiknya. “GYU!” Mingyu membuka satu mata. “H-Hao…,” keluar amat kering, bagai pasir. Ia sudah tak punya tenaga lagi untuk melawan. Persediaan udaranya kian menipis. Sebentar lagi otaknya takkan berfungsi. Jantungnya pun— Minghao merunduk, memasang kuda-kuda dengan gesit, bersiap untuk menyerang tangan misterius itu, tak peduli apakah justru dirinya yang akan terluka atau malah tidak bisa menyentuh makhluk itu sama sekali. “HAO!” itu suara Jun. Minghao mematerikannya, namun tak mengindahkannya. Pikirannya hanya terpusat pada Mingyu yang mulai lemas tak bisa bernapas. “HAO! JANGAN!” “DIEM, JUN! INI NYAWA GYU!” “BUKAN! MAKSUDKU—“ Jun frustrasi. Lidahnya hampir tergigit karena ia berucap terbu- ru-buru. “LIHAT ATAS, HAO!” Atas…? Mau tak mau, Minghao mendongak. Persis di atas kepalanya, banyak arwah bergentayangan. Bola api berwarna putih melayang ke sana-kemari. Arwah-arwah manusia yang berdiam diri, tak bergerak memandangi makh- luk di dalam kegelapan. Lebih dari takut, anak lelaki itu terpana. Mereka berwarna putih,