An Ode: Shadow - A Seventeen Anthology | Page 92

“….” “Itulah yang terjadi kalau manusia meninggal tanpa penyesalan. Relakan, Jihoon…” Wonwoo hampir berbisik. Jun dan Soonyoung bergantian memandang Wonwoo dan Jihoon. Bagaimana Wonwoo mena- tap Jihoon seakan ia paham akan sebab Jihoon tampak amat gugup. Jun menghela napas lalu pura-pura mencekik leher Wonwoo dengan satu lengannya. “Sudah, sudah, ayo lanjut amanin anak-anak itu,” ajaknya untuk meredakan ketegangan di antara mereka. “Betul! Ayo, Jihoon, kamu bantu aku!” Soonyoung pun tak kalah cepat, meraih tangan Jihoon dan mengajaknya menjauhi Wonwoo. Meski ragu, Jihoon membiarkan Soonyoung meng- geretnya. “Itu apa tadi, Won?” bisik Jun diam-diam ketika punggung kedua sahabat mereka telah meng- hilang di kerumunan orang. Wonwoo menghela napas. Ia memencet kedua kelopak matanya kuat-kuat dan, ketika tangan- nya ia jauhkan, Jun kaget melihat ada jejak air mata di sana. Dan sebagai jawaban, Wonwoo hanya memberikan satu kalimat singkat. “Nanti juga kamu tau, Junnie.” Yang justru membuat anak lelaki itu makin bingung. *** Entah waktu sudah berlalu berapa lama. Tak ada tanda-tanda makhluk-makhluk asing itu muncul kembali. Mereka pikir keadaan sudah normal kembali. Para peserta aman di rumah para warga, sementara yang mampu masih berpatroli di sekitar dengan berbagai macam senjata domestik: panci, wajan, pemukul baseball, tongkat pancing, apapun yang bisa mereka gunakan untuk membela diri, walau mereka tak tahu apakah bisa memusnahkan makh- luk-makhluk itu. Tak terlepas juga ketiga belas anak lelaki yang bersiaga di sana. Kantuk dan letih menggerogoti mereka, namun ditahan sebelum mereka memastikan bahwa semua telah baik-baik saja. Mingyu mulai bergerak gelisah. Minghao yang tidak semenit pun meninggalkan sisinya, mengangkat sebelah alis. Ketika tatap mereka bersirobok, Mingyu merona merah. Minghao tertawa geli lalu menyuruh temannya itu untuk menuntaskan haknya buang air kecil. Masih malu, Mingyu menggumam rendah kalau ia akan segera kembali dan berjalan ke rumah warga terdekat. Ia melewati gang sempit sambil lalu, terlalu terpaku pada rasa kebeletnya, ketika sebuah tangan hitam berkuku panjang merenggut lehernya dari belakang dan tanpa ampun menyeretnya masuk ke dalam kegelapan. Mingyu boleh dikatakan yang paling kuat di antara mereka dengan badannya yang tinggi