An Ode: Shadow - A Seventeen Anthology | Page 83

yang keluarganya kemudian membuka kuil kecil di jalan pertokoan yang kini adalah rumah- nya, dengan kacamata bulat besar dan rambut hitam model membosankan. Dia dan Junhui tengah duduk mengerubungi meja Lee Jihoon, yang terpendek namun terseram dari Empat Sekawan. Bukan, ini bukan cerita Blyton, mohon maaf. Empat Sekawan sendiri sebenarnya merupakan julukan bagi empat anak lelaki di kelas dua yang terkenal oleh dua hal: keunikan dan ketampanannya. Betul, mereka memang memiliki wajah di atas rata-rata, tetapi mereka juga memiliki ciri khasnya sendiri: yang satu aneh bin ajaib, yang satu berisik, yang satu nerdus, dan yang satu menyeramkan. Kesamaannya, mereka semua introvert dan mereka semua sudah berteman sejak masih dalam kandungan. Ya, selain ketiga orang yang telah kita jabarkan di awal cerita ini, ada empat orang lagi persis di bawah mereka dari segi usia. Kecilnya kota itu membuat semua penghuni sekolah tahu siapa-siapa saja yang termasuk ke dalam ‘Anak-anak Jalan Pertokoan’. Mereka yang teman serta tetangga sejak kecil. Mereka yang hubungannya sudah seperti saudara sendiri. Mereka yang sering bertengkar satu sama lain tanpa sebab yang jelas, namun dengan cepat berbaikan kembali keesokan harinya. “Lagi nulis lirik lagu, Hoonie?” berjalan santai menuju meja, Kwon Soonyoung tersenyum sampai matanya menyipit hampir hilang, tenggelam oleh pipinya yang tembam. Dia inilah yang boleh dibilang paling eksis di seluruh sekolah karena banci tampil, alias kalau ada kegiatan ramai-ramai atau semacamnya, dia pasti ikut dan pasti jadi pusat perhatian. Berisi- knya sama seperti ayahnya ketika tengah menjajakan sake dagangan mereka. Jihoon tidak menjawab. Alih-alih, disingkirkannya kertas itu, dilipat, lalu diselipkan ke buku notes pribadinya. Susah kalau sudah kelewat ramai seperti ini. Menulis itu enaknya ketika suasana sepi, di atas atap sekolah sendirian, atau di pinggir sungai di bawah jembatan saat petang. Angin sepoi-sepoi bertiup, membaurkan dandelion hingga menari di sekitarnya, dan ada sebuah kincir kertas kecil, berputar abadi bagai memori, seolah tak berhenti... “Eh, eh, enaknya pakai kostum sosis aja atau sosis pakai roti?” “Sosis pakai roti tuh hotdog gitu ya maksudnya?” “Jangan lupa hotdog-nya kasih selada sama timun, Junnie, biar tetap bergizi.” “Won-ah, ini cuma kostum, please deh.” “Aku nggak mau dinasehatin sama yang mau datang ke pesta pakai kostum harimau.” “MOHON MAAF NIH, KAMU ADA DENDAM APA SAMA HARIMAU, HAH?!”