Foto Istimewa
34 DUNIA PESANTREN
juang melawan penjajahan Jepang dan masa-masa mempertahankan kemerdekaan pada tahun 45- an. Bahkan, ketika KH. Djauhari harus mendekam di dalam tahanan Belanda selama hampir tujuh bulan, madrasah ini terus berjalan dengan normal dan dikelola oleh teman-teman dan murid-murid beliau. Selain Mathlabul Ulum, beliau juga mendirikan Tarbiyatul Banat yang dikhususkan untuk kaum wanita. Tak hanya itu, KH. Djauhari juga mendidik dan memberi bekal khusus untuk 20 orang sebagai kader penerus pondok pesantren. Golongan ini diambil baik dari kalangan keluarga maupun pemuda-pemudi Prenduan.
Pada akhir tahun 1950-an, Mathlabul Ulum dan Tarbiyatul Banat telah mencapai masa keemasan dan tenar di seantaro Prenduan sampai ke pelosoknya. Namun sayang, terpaan badai politik dan perpecahan umat memberi dampak yang cukup besar di Prenduan. Sehingga menyebabkan pimpinan, guru dan murid-murid Mathlabul Ulum terpecah belah.
Di akhir tahun 1951, KH. Djauhari teringat pada Pesantren Congkop dan almarhum ayahanda tercinta. Teringat pula pada harapan masyarakat Prenduan saat pertama kali beliau tiba dari Mekkah. Beliau pun bertekad untuk membangkitkan kembali harapan yang terpendam, membangun Congkop yang lebih maju dan bangkit dari keterpurukan.
Maka, tepat pada tanggal 10 November 1952 yang bertepatan dengan 09 Dzulhijjah 1371 H, KH. Djauhari meresmikan berdirinya sebuah Pesantren dengan nama Pondok Tegal. Pondok Tegal inilah yang kemudian berkembang tanpa putus
Salah satu sudut pondok putra pesantren Al-Amien Prenduan
hingga saat ini. Karena itulah, tanggal peresmian yang dipilih oleh KH. Djauhari dan disepakati oleh para penerus beliau menjadi tanggal berdirinya Pondok Pesantren Al Amien Prenduan. Program Pendidikan
Kiai Djauhari menertibkan aktivitas pondok dengan sebaik mungkin. Mulai dari jam tiga pagi, para santri dituntut untuk shalat tahajjud berjamaah kemudian diteruskan shalat witir. Menjelang pagi, santri-santri berkumpul lagi di masjid untuk belajar kebahasaan agar para santri fasih dalam berbicara bahasa arab. Hingga kini, pondok pesantren memiliki gedung tersendiri bagi santri yang menekuni bidang kebahasaan.
Sekitar pukul delapan pagi, mereka mengaji kitab kuning yang diajarkan di Intra atau nama lainnya Pondok Tegal. Pengajian pun selesai pada pukul setengah satu siang. Adapun kitab yang diajarkan adalah Ta’ lim al Muta’ allim, Bidayah al Hidayah dan Nashaih al Ibad. Serta kitab al Tarhib, Kifayah al Akhyar dan Muqarranan. Kitab-kitab tersebut disesuaikan menurut fan( bidang) dan kelasnya masing-masing. Masih banyak lagi kitab-kitab yang diajarkan di pondok pesantren ini.
Rampung mengaji, kegiatan dilanjut dengan shalat berjamaah dan disusul dars idhofi( pelajaran tambahan) pada pukul dua siang hari. Seperti itulah kharismatik Kiai Djauhari dalam menatar para santri agar belajar dengan telaten dan teratur menurut jam yang sudah ditentukan. Hal ini diutamakan agar para santri tidak membuang waktunya sia-sia dan percuma.
Pada masa kepemimpinan Kiai Djauhari, ponpes Al Amien tidak hanya menyuguhkan pendidikan agama saja. Lebih dari itu, pesantren ini juga menyajikan pendidikan formal setingkat SD, SMP, dan SMA yang dirangkum dalam pesantren menjadi TMI atau Tarbiyatul Mu’ allimien al Islamiyah. Tak hanya berhenti di situ, ponpes juga membekali santri dengan wawasan politik dan organisasi yang tentunya tak lepas dari koridor Islam. Hal ini dilakukan agar ketika terjun ke masyarakat, santri dapat membentengi diri dari politikus ulung yang suka menjadikan ulama sebagai boneka politik belaka. Tujuan lainnya