Agro Farm januari 2014 | Page 7

cover story S oal rokok ini, memang ada banyak fakta jungkir-balik. Rokok diklaim memberi lapangan kerja pada rakyat, dan dari sana pula rakyat sejahtera. Tetapi data BPS menyebut, ternyata tidak banyak tenaga kerja yang diserap pabrik rokok. Dulu, memang ya. Itu ketika mesin-mesin belum canggih. Rakyat masih miskin. Teknologi belum berkembang. Dan penikmat rokok masih akrab dengan linting dan tembakau rajangan yang dijual di pasar-pasar tradisional. Selain, tentu, belum tampilnya kesadaran, bahwa sehat itu adalah yang paling utama. Namun ketika semua itu sudah berubah, maka industrialisasi bukan lagi proyek padat karya. Pekerja manusia tidak lagi penting. Tenaga kerja potensial pabrik rokok berganti mesin-mesin. Mesin-mesin itulah yang menggerakkan industri pabrik rokok, menghasilkan bermiliar-miliar batang rokok. Sedang karyawan manusia hanya sebagai tameng untuk membentengi pabrik rokok. Karyawan manusia itu dijadikan pembenar, agar seakan-akan pabrik rokok itu pemberi lapangan kerja yang besar bagi rakyat negeri ini. Data dari BPS menyebut, tidak sampai sejuta tenaga kerja yang diserap pabrik rokok. Terbanyak justru mesin yang menghasilkan Sigaret Kretek Mesin (SKM). Fakta lain juga sangat mengejutkan. Selama ini tembakau dianggap sebagai tulang punggung ekonomi petani. Namun simak data dari kementerian terkait, yang ternyata realitasnya juga idem dito. Tembakau petani hanya memasok pabrik rokok sebesar 17% dari kebutuhan. Sisanya adalah tembakau impor. Tembakau yang didatangkan dari luar negeri. Selain sebagai sumber penyakit, penyemai kemiskinan, dan penghambur devisa, rokok ternyata juga sebagai simbol keterpurukan sebuah negara. Di seluruh dunia, hanya ada enam negara yang membebaskan warganya untuk merokok. Negara-negara kategori miskin dan terbelakang yang menganut itu. Mal