cover story
S
oal rokok ini, memang ada
banyak fakta jungkir-balik.
Rokok diklaim memberi
lapangan kerja pada
rakyat, dan dari sana pula
rakyat sejahtera. Tetapi data BPS
menyebut, ternyata tidak banyak
tenaga kerja yang diserap pabrik
rokok.
Dulu, memang ya. Itu ketika
mesin-mesin belum canggih. Rakyat
masih miskin. Teknologi belum
berkembang. Dan penikmat rokok
masih akrab dengan linting dan
tembakau rajangan yang dijual di
pasar-pasar tradisional. Selain, tentu,
belum tampilnya kesadaran, bahwa
sehat itu adalah yang paling utama.
Namun ketika semua itu sudah
berubah, maka industrialisasi bukan
lagi proyek padat karya. Pekerja
manusia tidak lagi penting. Tenaga
kerja potensial pabrik rokok berganti
mesin-mesin. Mesin-mesin itulah
yang menggerakkan industri pabrik
rokok, menghasilkan bermiliar-miliar
batang rokok.
Sedang karyawan manusia
hanya sebagai tameng untuk
membentengi pabrik rokok.
Karyawan manusia itu dijadikan
pembenar, agar seakan-akan pabrik
rokok itu pemberi lapangan kerja
yang besar bagi rakyat negeri ini.
Data dari BPS menyebut, tidak
sampai sejuta tenaga kerja yang
diserap pabrik rokok. Terbanyak
justru mesin yang menghasilkan
Sigaret Kretek Mesin (SKM).
Fakta lain juga sangat
mengejutkan. Selama ini tembakau
dianggap sebagai tulang punggung
ekonomi petani. Namun simak
data dari kementerian terkait,
yang ternyata realitasnya juga
idem dito. Tembakau petani hanya
memasok pabrik rokok sebesar 17%
dari kebutuhan. Sisanya adalah
tembakau impor. Tembakau yang
didatangkan dari luar negeri.
Selain sebagai sumber penyakit,
penyemai kemiskinan, dan
penghambur devisa, rokok ternyata
juga sebagai simbol keterpurukan
sebuah negara. Di seluruh dunia,
hanya ada enam negara yang
membebaskan warganya untuk
merokok. Negara-negara kategori
miskin dan terbelakang yang
menganut itu. Mal