Agro Farm edisi 39 | Page 7

cover story Impor terus menggila. Negeri ini keropos. Perut rakyat dipasok asing. Asing memainkan itu. Dan negara pun dibuat gonjangganjing. Masih berharapkah kita sw asembada? Mimpi kalee ! Foto: Ist D ari hari ke hari, dari bulan ke bulan, dan dari tahun ke tahun, kita dicekoki pemerintah dengan mimpi swasembada. Beras mampu dicukupi. Garam terpenuhi. Gula terasa manis dari hasil sendiri. Dan kedelai, kunyit, jahe, sayur-mayur, buah, daging, cukup untuk kebutuhan dalam negeri. Namun sampai tahun depan pemerintahan SBY selesai, semua itu tidak ada yang mandiri. Impor dan impor kian menggila. Sepuluh tahun kita berhalusinasi semua itu tidak hanya cita-cita, tetapi menjadi nyata. Namun ternyata itu hanya teronggok dalam data, yang entah datang dan diambil darimana. Untuk impor pangan saja, ada sekitar 153 item yang datang dari luar negeri. Itu belum elektronika, dan sandang. Ini sejarah baru bagi negeri ini. Sejarah melo-drama. Lucu sekaligus tragis. Betapa negeri yang tanahnya subur, iklimnya mendukung, justru terseok-seok dalam pemenuhan pangan bagi rakyatnya. Era Soeharto yang dihujat itu saja, negeri ini pernah berjaya di sektor pangan, swasembada beras. KUD dibuat, program Bimas dan Inmas untuk memberi pinjaman petani berjalan, irigasi tergarap, dan penyuluh pertanian dekat dengan rakyat. Malah presidennya acap sambang petani melalui Kelompencapir yang tersebar hampir setiap desa. Kini petani terpinggirkan. Ada subsidi benih dan pupuk diselewengkan. Otonomi daerah yang belum tertopang RT/RW yang memadai semakin merumitkan. Dan ini celah untuk mencari kambing hitam, terbengkalainya irigasi, hilangnya minat petani untuk bertani, dan berakhir raibnya potensi untuk pasokan pangan bagi bangsa ini. Pasar tempat masyarakat daerah bertransaksi sebagian telah mati. Pasar itu telah ilang kumandange kata Jangka Jayabaya. Hilang gaungnya. Ini tanda kehidupan rakyat bawah sengsara. Tidak lagi bisa hidup dari bertani dan berkebun, karena supermarket yang monopolistis dengan modal besar (dan asing), tidak memberi ruang bagi penyaluran hasil bumi petani. Akibat itu, demi hidup, maka petani pun menjual lahanya untuk dikonversi. Dengan terpaksa mereka melupakan cara bercocok-tanam yang sudah ratusan tahun digeluti, membiarkan anak dan cucunya untuk mencari penghidupan layak sebagai buruh di pabrik dan sebagai TKI di berbagai negara, dan tidak lagi perduli dengan musim kemarau atau hujan yang dulu sangat teliti untuk diantisipasi. Jika ruang hidup petani itu ‘dimatikan’, adakah masuk akal jika para menteri yang harusnya ‘menghidupkan’ ruang hidup petani itu berteriak pasokan kurang dan harus impor? Jangan-jangan ini skenario panjang dari para decision maker negeri ini untuk ‘menjual’ negeri ini bagi kepentingan pribadinya. AgroFarm l Tahun III l Edisi 39 l Oktober 2013 Lihat impor sapi yang bernuansa korupsi. Juga simak impor kopi, gula, jagung, garam, dan seabreg impor yang lain. Itu tid ?????????????????????????)??????????????????????????????)?????????????????????????)??????????????????????????)??????????????????????????)????????????????????????????)?????????????????????)-?????????????????)????????????????????)?????????????????????????????????5????????????????)????????????????????????)?????????????????????????)????????????????????????)-????????????????????????????)?????????!??????????? ??????)Q??????????????a????????????)????????d??5?????????????)???????????????????? ?????)????????????????????????????????)???????-?????????????????????????)????????????????????????a???)??????????????d??%?????????????)?????????????????????????)????????????????????????)?????????????)?????M?e??M?????((?((0