cover story
Impor terus menggila. Negeri ini keropos. Perut rakyat dipasok
asing. Asing memainkan itu. Dan negara pun dibuat gonjangganjing. Masih berharapkah kita sw
asembada? Mimpi kalee !
Foto: Ist
D
ari hari ke hari, dari bulan
ke bulan, dan dari tahun
ke tahun, kita dicekoki
pemerintah dengan
mimpi swasembada. Beras
mampu dicukupi. Garam terpenuhi.
Gula terasa manis dari hasil sendiri.
Dan kedelai, kunyit, jahe, sayur-mayur,
buah, daging, cukup untuk kebutuhan
dalam negeri.
Namun sampai tahun depan
pemerintahan SBY selesai, semua itu
tidak ada yang mandiri. Impor dan
impor kian menggila. Sepuluh tahun
kita berhalusinasi semua itu tidak
hanya cita-cita, tetapi menjadi nyata.
Namun ternyata itu hanya teronggok
dalam data, yang entah datang dan
diambil darimana.
Untuk impor pangan saja, ada
sekitar 153 item yang datang dari
luar negeri. Itu belum elektronika,
dan sandang. Ini sejarah baru bagi
negeri ini. Sejarah melo-drama. Lucu
sekaligus tragis. Betapa negeri yang
tanahnya subur, iklimnya mendukung,
justru terseok-seok dalam pemenuhan
pangan bagi rakyatnya.
Era Soeharto yang dihujat itu saja,
negeri ini pernah berjaya di sektor
pangan, swasembada beras. KUD
dibuat, program Bimas dan Inmas
untuk memberi pinjaman petani
berjalan, irigasi tergarap, dan penyuluh
pertanian dekat dengan rakyat. Malah
presidennya acap sambang petani
melalui Kelompencapir yang tersebar
hampir setiap desa.
Kini petani terpinggirkan.
Ada subsidi benih dan pupuk
diselewengkan. Otonomi daerah
yang belum tertopang RT/RW yang
memadai semakin merumitkan. Dan
ini celah untuk mencari kambing
hitam, terbengkalainya irigasi,
hilangnya minat petani untuk bertani,
dan berakhir raibnya potensi untuk
pasokan pangan bagi bangsa ini.
Pasar tempat masyarakat daerah
bertransaksi sebagian telah mati.
Pasar itu telah ilang kumandange kata
Jangka Jayabaya. Hilang gaungnya.
Ini tanda kehidupan rakyat bawah
sengsara. Tidak lagi bisa hidup
dari bertani dan berkebun, karena
supermarket yang monopolistis
dengan modal besar (dan asing), tidak
memberi ruang bagi penyaluran hasil
bumi petani.
Akibat itu, demi hidup, maka
petani pun menjual lahanya untuk
dikonversi. Dengan terpaksa mereka
melupakan cara bercocok-tanam
yang sudah ratusan tahun digeluti,
membiarkan anak dan cucunya untuk
mencari penghidupan layak sebagai
buruh di pabrik dan sebagai TKI
di berbagai negara, dan tidak lagi
perduli dengan musim kemarau atau
hujan yang dulu sangat teliti untuk
diantisipasi.
Jika ruang hidup petani itu
‘dimatikan’, adakah masuk akal
jika para menteri yang harusnya
‘menghidupkan’ ruang hidup petani
itu berteriak pasokan kurang dan
harus impor? Jangan-jangan ini
skenario panjang dari para decision
maker negeri ini untuk ‘menjual’
negeri ini bagi kepentingan
pribadinya.
AgroFarm l Tahun III l Edisi 39 l Oktober 2013
Lihat impor sapi yang
bernuansa korupsi. Juga simak
impor kopi, gula, jagung, garam,
dan seabreg impor yang lain. Itu
tid ?????????????????????????)??????????????????????????????)?????????????????????????)??????????????????????????)??????????????????????????)????????????????????????????)?????????????????????)-?????????????????)????????????????????)?????????????????????????????????5????????????????)????????????????????????)?????????????????????????)????????????????????????)-????????????????????????????)?????????!??????????? ??????)Q??????????????a????????????)????????d??5?????????????)???????????????????? ?????)????????????????????????????????)???????-?????????????????????????)????????????????????????a???)??????????????d??%?????????????)?????????????????????????)????????????????????????)?????????????)?????M?e??M?????((?((0