cover story
sekarang pemerintah harus menguasai
tata niaga dan membuat stok untuk
mengurangi resiko kelangkaan,”
paparnya.
Menurutnya, ini aneh. Negara tidak
berdaya menghadapi mafia pangan.
Ini menyengsarakan rakyat. Di sektor
budidaya masalah kelangkaan benih,
pupuk dan pestisida sering diusut tapi
tidak ada hasilnya. Jadi petani ketika
masuk musim tanam benihnya tidak
ada dan pupuk terlambat, padahal
produksi berjalan terus. “Permainan ini,
tidak bisa dibuktikan secara hukum,”
tukasnya.
Apalagi, kata Adi, produk pangan
impor mutunya rendah. Jagung dan
kedelai itu di asal negaranya untuk
feedmilk dan pakan ternak.
Gagalnya pencapaian target
pemerintah untuk swasembada padi,
kedelai, jagung, gula dan daging sapi
tahun 2014 itu bukan masalah produksi
dan kemampuan. Sebab, katanya, pada
abad 14 yang lalu peradaban Sriwijaya
itu berasal dari surplus pertanian.
Ketika itu tidak ada HPH, minyak dan
gas dan Bank Dunia. Buktinya mampu
menguasai Asia Tenggara. Begitu pula
Kerajaan Majapahit menjadi besar
karena pertanian. Kedatangan VOC itu
juga mengembangkan pertanian.
Menurutnya, Indonesia sudah
merdeka, mempunyai teknologi,
semestinya jauh lebih hebat
dibandingkan yang dicapai oleh
Sriwijaya, Majapahit maupun Belanda
ketika menjajah. Kalau tidak berhasil
bukan faktor objektif, namun karena
ketidakmampuan untuk mengelola
sektor pertanian. “Ini mengakibatkan
target swasembada pangan tidak
bakal terwujud pada tahun 2014,”
tandasnya.
Ada masalah besar yang dihadapi
di sektor pertanian. Keterlambataan
pupuk dan benih ketika masuk
masa tanam itu terkait anggaran di
Kementerian Keuangan. Masalah tata
niaga juga akibat longgarnya impor
pangan di Kementerian Perdagangan.
“Jadi masalah utamanya ada di antara
kementerian,” tambahnya.
Menurutnya, ke depan untuk
membangun pertanian harus dimulai
dengan semangat kebangsaan. Agar
bangsa ini tidak menjadi bangsa
pecundang dalam urusan pangan,
tetapi bangsa yang harus berdaulat
pangan. Apalagi sekarang Indonesia
mengalami defisit pangan karena lebih
besar impor dibandingkan ekspor
pangan.
Ir.Faiz Achmad, MBA
Rupiah Terpuruk,
Industri Ketar-ketir
P
ertumbuhan industri sebesar 7,74 persen pada tahun 2012 belum
diiringi pasokan bahan baku dalam negeri. Akibatnya, industri
impor bahan baku yang cukup banyak. Sementara hasil pertanian
Indonesia sifatnya musiman, sementara industri kebutuhannya bersifat
harian. Inilah yang menyebabkan Indonesia masih tergantung pada
produk impor untuk memenuhi kebutuhan pangannya.
Persoalan bahan baku yang dihadapi industri sudah sering terjadi. Alihalih pelaku industri mengimpor bahan baku untuk diolah menjadi produk.
Apresiasi dolar terhadap rupiah, setidaknya membuat industri sedikit
ketar-ketir. Apalagi Indonesia masih impor gandum sebesar 96 persen.
“Situasi ini kita harapkan jangan berlangsung lama. Pasalnya bahan
baku impor yang distok untuk beberapa bulan ke depan masih mampu
memenuhi kebutuhan. Namun jika keadaan ini cukup lama, jelas akan
memukul industri,” jelas Ir. Faiz Achmad, MBA, Direktur Makanan dan
Hasil Laut Perikanan, Kemenperin pada Agrofarm di Jakarta.
Faiz menjelaskan, bahwasanya impor masih banyak dilakukan industri,
khususnya industri makanan, karena laju pertumbuhan industri terus
meningkat, sementara di hulu belum mampu mengikuti laju industri.
”Hasil pertanian kita hanya segitu-segitu saja, dan tidak ada yang
swasembada. Jadi mau tidak mau untuk bahan baku, industri makanan
impor,” imbuh Faiz.
Impor untuk memenuhi industri makanan, perikanan dan hasil laut
adalah gandum impor 6 juta ton, gula dalam bentuk raw sugar 3 juta
ton, jagung 1,5 sampai 2 juta ton, kedelai yang 85 persen untuk industry
tahu tempe impor 1,5 -1,8 juta ton, tepung tapioka 200 ribu ton, daging
sapi beku untuk industri sosis, bakso impor 20 ribu ton, kakao yang
impor dari Ghana, Puerto Rico masih impor, hanya saja impornya sangat
kecil. Karena kakao tersebut untuk dikombinasi dengan kakao lokal yang
menghasilkan cita rasa.
Ikan lemuru untuk kebutuhan sarden juga impor. Bahkan, jika
terjadi anomali cuaca bisa impor lebih banyak. “Kita pernah impor cukup
besar,’tandas Faiz. irsa fitri
AgroFarm l Tahun III l Edisi 39 l Oktober 2013
13