cover story
Foto: Bimo
yang akan masuk melalui Pelabuhan Tanjung
Priok sebanyak 2.100 ton dan Pelabuhan
Tanjung Perak sebanyak 2.764 ton.
Sementara untuk jenis kentang
sebanyak 2.568 ton yang akan masuk
melalui Pelabuhan Tanjung Priok sebesar
2.073 ton dan melalui Pelabuhan Tanjung
Perak sebanyak 495 ton.
Untuk bawang, pada semester dua
mendapat alokasi sebanyak 27.011 ton yang
terbagi dari bawang bombai sebanyak
10.230 ton, dan bawang merah sebanyak
16.781.
Bawang bombai akan masuk melalui
Pelabuhan Tanjung Priok sebanyak 3.560
ton, sebanyak 3.953 akan masuk
melalui Pelabuhan Tanjung Perak,
2.641 melalui Pelabuhan Belawan, dan
sebanyak 76 ton melalui Free Trade
Zone (FTZ).
Wortel akan dialokasikan sebanyak
18.158 ton yang akan masuk melalui
Tanjung Priok sebanyak 11.265 ton,
Tanjung Perak 5.879 ton, Belawan 865
ton, dan FTZ 149 ton.
Sementara untuk cabai (buah
dari genus Capsicum) dialokasikan
sebanyak 9.715 ton, yang akan masuk
melalui Tanjung Perak sebanyak 5.090
ton dan Belawan sebanyak 4.625 ton.
Bachrul Chairi
Dari Swasembada
Hingga Impor Menggila
S
emua serba impor. Kapan Indonesia tidak impor
dan mandiri dalam pangan? Jawabannya di era
Soeharto. Pada 1984 Indonesia dinyatakan mandiri
dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri atau mencapai
swasembada pangan. Organisasi Pangan Dunia (FAO) pun
mengundang Soeharto untuk menerima penghargaan.
Salah satu prestasi yang pernah diterima Soeharto di
kancah internasional.
Dikutip dari laman Soeharto centre, Direktur Jenderal
FAO Edouard Saouma mengundang Soeharto bicara pada
forum dunia, 14 November 1985. Organisasi pangan dan
pertanian PBB meminta Soeharto berbagi pengalaman
Indonesia dalam upaya menaikkan tingkat produktivitas
dengan mencapai tingkat swasembada pangan. Oleh
FAO, Soeharto dijadikan lambang perkembangan
pertanian internasional.
Kondisi tersebut memang berbanding terbalik dengan
kondisi ekonomi saat ini. Di mana pemerintah selalu
mengandalkan pasokan luar negeri untuk kebutuhan
di dalam negeri. Sejumlah komoditas pangan tak luput
dari program impor. Agrofarm merangkum komoditaskomoditas yang berjaya di era Soeharto, namun kini harus
mengandalkan impor.
1. Kedelai
Indonesia pernah berada di puncak kejayaan kedelai
di era kepemimpinan Presiden Soeharto yakni 1992 dan
1993. Namun pada 1998 saat Indonesia dilanda krisis, IMF
menyarankan Indonesia untuk melakukan pasar bebas.
Kedelai pun mulai diimpor dengan harga mengikuti pasar
global.
Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe
Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifudin mengatakan
sebenarnya Indonesia bisa kembali ke masa kejayaan
10
kedelai pada 1992. Syaratnya konsisten pada aturan
Perpres 32 tahun 2013. Dalam beleid ini diatur HJP (Harga
Jual Pengrajin) serta dibatasinya kuota impor.
2. Beras
Pada 1969, Indonesia memproduksi beras sekitar 12,2
juta ton beras. Namun, pada 1984 melonjak hingga 25,8
juta ton. Strategi Soeharto saat itu menitikberatkan pada
usaha intensifikasi dengan menaikkan produksi terutama
produktivitas padi pada areal yang telah ada. Pemerintah
mencetak tenaga penyuluh pertanian, membentuk
unit-unit koperasi untuk menjual bibit tanaman unggul,
menyediakan pupuk kimia dan juga insektisida untuk
membasmi hama. Sistem pengairan diperbaiki dengan
membuat irigasi ke sawah-sawah sehingga banyak
sawah yang semula hanya mengandalkan air hujan, bisa
ditanami pada musim kemarau dengan memanfaatkan
sistem pengairan.
Lain dulu lain sekarang. Tingginya konsumsi beras
di masyarakat tidak dibarengi produksi yang maksimal.
Lihat saja realisasi impor beras yang dilakukan oleh Perum
Bulog sepanjang 2012 yang mencapai 670.000 ton.
Realisasi pengadaan beras di dalam negeri selama satu
tahun sebesar 3,664 juta ton. Anomali iklim yang ekstrem
selalu dijadikan kambing hitam menurunnya produksi
beras nasional.
3. Gula
Industri gula merupakan salah satu industri sektor
perkebunan tertua di negeri ini. Indonesia pernah
mengalami era kejayaan industri gula pada dekade tahun
1970-1980. Indonesia juga tercatat sebagai raja ekspor
gula sekitar tahun 1957.
AgroFarm l Tahun III l Edisi 39 l Oktober 2013