A & O Edisi X Emansipasi Laki-Laki | Page 64

Ini yang belum dapat perhatian dari penyelenggara pendidikan, termasuk juga kampus-kampus, dan pemberi kerja di Indonesia. Baru beberapa kampus yang menyediakan fasilitas tersebut, misalnya UIN Sunan Kalijaga Jogja, Unesa di Surabaya, Universitas Lambung Mangkurat di Banjarmasin, dan Universitas Brawijaya di Malang. Kalau di dunia kerja belum ada informasi yang saya dapat sejauh ini. Kalaupun ada yang pakai screen reader ya difabel itu sendiri yang mengupayakan. Teman saya, seorang guru difabel netra ketika membuat soal ujian menggunakan google form juga merupakan inisiatif sendiri, karena sekolahnya tidak menyediakan pembaca lembar jawab anak-anak.

Lalu apa target SIGAB saat ini?

Target advokasi saat ini, seleksi CPNS, P3K, BUMN, dan swasta lebih memperhatikan kebutuhan aksesibilitas difabel, misalnya fasilitas teknologi dan fasilitas fisik. Kreativitas dari pemerintah juga dibutuhkan untuk memberi stimulus agar jumlah perekrutan kaum difabel meningkat, misalnya perusahaan diberi keringanan pajak supaya ada stimulus untuk mempekerjakan kaum difabel. Trus, lembaga-lembaga peradilan, sekolah-sekolah, kampus-kampus menjadi inklusif. Penyedia layanan publik diharapkan memperhatikan aksesibilitas dan reasonable accommodation bagi difabel. Lalu desa, kelurahan, kabupaten, kota, provinsi hingga negara Indonesia menjadi negeri yang inklusif. Lalu, target internal, SIGAB bisa upshift dan upstream, hingga menjadi Organisasi 3.0.

Kendala apa yang dihadapi SIGAB dalam mencapai target ini?

UU Disabilitas sering dipandang sebagai UU sektoral dimana hanya sektor sosial yang punya tanggung jawab melindungi dan memenuhi hak-hak difabel. Akibatnya, sektor lain seakan tidak perlu tahu dan ambil bagian untuk mewujudkan negeri yang inklusif. Padahal, UU ini lintas sektoral. Selain itu, dari segi akses, masih sangat banyak lagi fasilitas-fasilitas umum yang tidak aksesibel sehingga menghalangi partisipasi kaum difabel. Secara internal pergerakan difabel, masih terdapat ketimpangan antara Jawa dan luar Jawa, yang masalah dasarnya sebenarnya adalah minimnya akses pendidikan dan pengetahuan. Lalu pola pikir sebagian masyarakat kita juga masih stigmatis dan diskriminatif.

Apa harapan Anda terhadap para pembuat kebijakan terkait dengan kaum difabel?

Kebijakannya sudah ada di level UU, tapi implementing regulation seperti peraturan pemerintah dan regulasi tingkat daerah belum cukup. Beberapa daerah sudah punya perangkat, tapi sifatnya masih sektoral, jadi hanya sektor sosial, sektor lain belum merasa perlu untuk tahu. Akomodasi yang layak untuk kaum difabel masih belum dipahami banyak orang. Harapannya agar aturan ini lebih tersosialisasi secara luas. Misalnya, kita sudah punya Peraturan Menteri PUPR tentang Standar Bangunan Gedung tahun 2017, tetapi dalam membangun fasilitas publik hal ini tidak dihiraukan. Jadi, perlu sosialisasi dan sosialisasi. Lalu, mindset pengambil kebijakan juga harus berubah, dari charity-based ke rights-based, dari segregasi ke inklusi.