A & O Edisi II Apr 2018 Work-Life-Balance | Page 11

Bekerja adalah hal yang baik. Bekerja menjadikan manusia produktif dengan memaksimalkan talenta yang dimiliki. Produktifitas akan memberi dampak yang luar biasa tidak hanya bagi perusahaan namun juga bagi negara secara lebih luas. Kesejahteraan akan lebih mudah tercapai.

Namun demikian, akan ada satu titik jenuh pada manusia akibat terus-menerus menjalani hidup untuk bekerja. Kelelahan fisik maupun psikis akan memunculkan berbagai dampak negatif. Stress kerja, depresi, burn-out, dan turnover menjadi fenomena umum yang dialami oleh siapapun yang sudah sampai pada titik jenuh dan lelah dalam bekerja. Bekerja akhirnya menjadi beban yang harus dipikul dan sebisa mungkin ingin dilepaskan.

Dalam kondisi ini, sudah saatnya manusia kembali pada sebuah pertanyaan yang hakiki. Untuk apakah kita bekerja? Slogan bekerja untuk hidup dan hidup untuk bekerja pada akhirnya dapat diibaratkan sebagai kurva normal.

Manusia pada mulanya bekerja untuk hidup akan mengalami sebuah kondisi

hidup untuk bekerja. Namun, pada titik tertentu, manusia harus kembali pada nilai bahwa bekerja sudah seyogyanya dilakukan untuk hidup. Bagian terpenting yang harus digarisbawahi adalah bahwa hidup dan bekerja harus seimbang. Hidup tidak akan berlangsung dengan baik tanpa kita bekerja. Sebaliknya, bekerja juga tidak akan berlangsung dengan baik jika hidup kita terganggu.

Fase terakhir ini adalah fase terakhir dalam level kebutuhan Maslow yang

disebut dengan aktualisasi diri. Fase ini memungkinkan manusia mengalami sebuah kondisi self fulfillment. Mereka yang sampai pada fase ini mampu membuat pilihan yang seimbang antara pekerjaan yang meliputi karir, ambisi, serta tujuan, dan kehidupan yang meliputi kesehatan, kesenangan, waktu luang dan keluarga. Dalam fase ini, seseorang telah mencapai keseimbangan dalam menjalani kehidupan kerja dan dalam kehidupan pribadinya (work-life-balance). (ps)