KISAH INSPIRATIF
Jangan menilai buku dari sampulnya
Tetapi jikalau kamu memandang muka, kamu berbuat dosa – Yakobus 2.9
Di
suatu hari yang dingin di bulan Mei,
saya sedang makan siang bersama
dua teman di sebuah restoran kecil.
Posisi kursi saya menghadap sebuah jendela
besar. Sambil menikmati obrolan ringan saya
melihat di seberang jalan ada seorang yang
membawa sebuah papan dengan kata-kata
“Aku akan bekerja untuk makanan”. Pria
gelandangan itu juga memanggul sebuah tas
yang besar kemungkinan mengandung semua
harta yang dimilikinya di dunia.
Kedua teman saya juga berhenti menyantap
hidangan yang tadinya terasa enak dan
bergabung dengan saya untuk mengamati
sosok yang membuat kami merasa sedih dan
sulit untuk percaya. Walaupun setelah itu
kami melanjutkan makan siang kami tetapi
gambaran tentang pria itu terus berputar
di dalam pikiran saya. Selesai makan kami
meninggalkan tempat itu dan melanjutkan
dengan kegiatan masing-masing.
Ada beberapa hal yang perlu saya selesaikan
di kota. Sepanjang siang itu saat saya
berkeliling kota, dengan setengah hati saya
melihat ke sepanjang jalanan mencari-cari pria
asing itu. Tetapi saya juga khawatir jika saya
bertemu dengan dia lagi, saya harus berbuat
sesuatu.
Setelah selesai berbelanja beberapa barang
di toko saya kembali ke mobil untuk pulang
ke kantor. Tetapi jauh di lubuk hati saya,
Roh Tuhan terus berbicara, “Jangan pulang
76
dulu, setidaknya buatlah satu lagi putaran di
lapangan kota.” Jadi dengan hati yang sedikit
berat saya mengarahkan mobil ke arah pusat
kota sekali lagi.
Kali ini saya melihatnya. Ia sedang berdiri di
tangga gereja, sedang membongkar isi tasnya.
Saya berhenti dan memandang ke arahnya.
Perasaan saya berkecamuk, ada dorongan
untuk berbicara dengannya, namun di sisi lain,
saya juga mau meneruskan perjalanan. Tempat
parkir yang kosong di sudut jalan seolah-olah
adalah semacam tanda dari Tuhan: undangan
untuk memarkir kenderaan saya. Lalu saya
memarkir dan mendekati pengunjung baru ke
kota kecil ini.
“Sedang mencari pendeta?” saya bertanya.
“Tidak juga,” jawabnya, “hanya istirahat.”
“Sudahkah Anda makan hari ini?”
“Oh, Saya makan sesuatu tadi pagi.”
“Apakah Anda bersedia makan siang
bersama saya?”
“Apakah Anda punya pekerjaan yang dapat
saya lakukan?”
“Tidak ada pekerjaan. Saya tinggal di kota
lain, tapi setiap hari ke sini untuk bekerja, tapi
saya mau mengajak Anda untuk makan siang
bersama.”
“Baiklah,“ ia menjawab dengan sebuah
senyuman. Waktu ia sibuk mengemas barangbarangnya. Saya berbasa-basi, “Mau ke
mana?”