PsyCulture Nov 2013 | Page 4

KEDEKATAN PSIKOLOGIS jepang dan bali

epang menempati urutan kedua jumlah wisatawan di Bali, setelah Australia. Begitu dekatnya Jepang di mata warga Bali, tak heran pasca

tsunami di Jepang, Bali menggelar ‘Bali Pray for Japan’ di Monumen Perjuangan, Bajra Sandhi.

Yoko Yoshida, jurnalis API magazine (majalah berbahasa Jepang) yang telah 8 tahun menetap di Bali, mengungkapkan beberapa alasan, “Bali adalah tujuan wi-sata pantai yang paling ideal. Kondisi pantainya secara umum lebih bagus di-banding pantai di Thailand atau Filipina. Direct flight dari Tokyo ke Bali juga men-jadi pertimbangan mengapa mereka memilih Bali dibandingkan Manado, Lombok, atau Pulau Komodo. Di Bali, de-ngan mudah mereka bisa mendapatkan penginapan yang layak, dan berbelanja dengan harga murah.”

Pernyataan ini senada dengan Ardana Riswari atau Ires, wanita asal Indonesia yang telah lama menetap di Jepang dan bekerja sebagai talent coor-dinator untuk acara televisi. “Bali mung-kin satu-satunya daerah wisata yang pe-nunjang pariwisatanya paling lengkap di Indonesia,” katanya.

Orang Jepang, menurut Yoko, ada-lah pekerja keras. Mereka memilih Bali karena orang Indonesia memang terke-nal dengan keramah-tamahannya. “Orang Jepang dan Bali senang meng-obrol. Berbeda kalau mereka berlibur ke Hawaii misalnya, di sana mereka nggak dapat teman mengobrol,” kata Yoko.

Bahkan, tidak sedikit orang Jepang yang meninggalkan aktivitasnya untuk mempelajari budaya Bali, misalnya ber-gabung dalam kelompok kesenian dan belajar menari atau bermain gamelan. “Di Asagaya, Tokyo, ada sanggar tari Bali," kata Ires.

Ia menambahkan, kesamaan lain orang Jepang dan Bali adalah keduanya menjunjung peninggalan adat dan bu-daya tradisional. “Di antara gedung-gedung pencakar langit di Tokyo, masih bisa ditemui kuil-kuil. Anak muda Jepang juga masih ada yang suka berkimono saat musim panas,” katanya. Namun, meski menghargai budaya, mereka sebe-narnya tidak menjalankan kepercayaan yang dianut. “Orang Jepang pergi ke kuil hanya saat malam tahun baru,” jelas Ires lagi.

Tren yang terjadi di Bali sekitar 3-4 tahun ini juga bisa dijadikan contoh. Saat ini banyak wisatawan Jepang yang da-tang ke Bali tidak sekadar untuk berwi-sata, tapi juga untuk melangsungkan upacara pernikahan layaknya warga se-tempat yang beragama Hindu. “Tidak peduli upacara dilangsungkan dengan cara apa, yang penting unik,” kata Yoko, yang juga menjelaskan bahwa upacara pernikahan ala Barat juga jamak dila-kukan di Jepang.

Menurut pengamatan Ires, orang Jepang yang baru lahir diupacarakan dengan agama Shinto. Setelah dewasa, menikah di gereja seperti orang Kristen/ Katolik, lalu meninggal dengan cara Buddha. Yoko pun menyadari hal itu. Ia mengatakan bahwa orang Jepang percaya agama, tapi tidak menjalankan-nya. “Dalam lingkungan adat Bali dan agama Hindu yang kental, orang Jepang seperti diingatkan bahwa manusia hidup dalam kebersamaan. Dengan adanya bencana tsunami, kami juga diingatkan untuk berserah diri pada kekuatan yang lebih besar, yaitu Tuhan.”

Diakses oleh :

Reyhan Ghazi

J

http://www.femina.co.id/isu.wanita/topik.hangat/kedekatan.psikologis.jepang.dan.bali/005/007/10